Jumat, 17 Mei 2013

One Step Older


Banyak orang yang bilang, kalau cinta itu adalah sebuah proses. Ada saat-saat cowok dan cewek menjadi stranger, kemudian menjadi kenalan. Tak lama, waktu mengganti status mereka jadi teman. Lalu, nggak lama juga mereka akan saling suka hingga akhirnya pacaran. Syukur-syukur kalau misalnya nemu yang klop.

Yah, mungkin semua proses itu selalu berjalan lancar hampir di semua teman-temanku. Most of them udah pernah pacaran, dan status jomblo itu cuma sebentar aja disandang mereka.

Kalau dibuat survei, mungkin cuma sekitar 3-5% yang belum pacaran.

Bagi mereka, jomblo kelamaan itu mungkin adalah sebuah penyakit. Ada saatnya dimana kita harus cepetan sembuh, walaupun juga kadang obatnya itu punya efek samping. Yang ada dipikirannya mungkin cuma sembuh, dan nggak ketemu lagi sama virus dan mikrobia bernama jomblo.

Tapi aku sudah berteman lama dengan virus yang namanya jomblo ini. Dan, aku cukup puas mendapati kenyataan bahwa selama 14 tahun aku hidup ini, nggak ada cowok yang mau deket – dalam arti serius – sama saya.

Makanya, mungkin karena sudah paham betul asam pahit manisnya jomblo, itu semua jadi berbanding lurus sama cinta diam-diam. Karena kebanyakan cinta dipendem, jadinya nggak tersampaikan maksudnya, dan akhirnya jomblo.

Tapi ada kalanya aku envy sama orang yang begitu mudahnya dapet gebetan. Like the most of human. Sifat manusiawi.

Contohnya begini. Seseorang bernama Aki, barusan putus dari pacarnya. Belum bisa move on. Tapi lama-kelamaan si Aki ini jatuh cinta lagi sama taksirannya dulu. Setelah itu mereka mulai intens komunikasi. Lalu kemudian, Aki berhasil move on dan nembak si cewek.

Betapa enaknya jika sebuah storyline tentang cinta nggak terlalu kompleks seperti itu.

Jika ditelisik lebih jauh, ada sebuah tahapan dimana aku nggak pernah ngelakuin itu. Komunikasi.

Oh. Maaf. Bukannya nggak pernah sama sekali, sih. Pernah. Tapi ke orang yang salah. Yang ada malah perasaan nggak ditanggapi, dan kecewa.

Teringat kata-kata seorang teman saat di Bali. Satu angkutan sedang ramai menggojloki temanku ini dengan seribu pertanyaan tentang taksiran temanku. Dan pertanyaan itu sampai padaku.

Saat itu mereka bertanya, “Lha, kalau Nancy gimana?”

“Nggak mungkin, lah sama Nancy!” Aku cuma diam, lalu mendengarkan percakapan mereka. Sesaat kemudian dia menambahkan, “Bukan.. Aku cuma jarang ngomong sama Nancy.”

Ulu hatiku rasanya sedang ditusuk dengan bara. Sedih. Oh, jadi gini, toh pemikirannya para cowok tentang saya.

Kacamata. Kutu buku. Kaku. Pendiam.

Yah. Mungkin itu yang mereka pikirkan tentang aku. Itu sebabnya mereka – laki-laki – jaga jarak. Mungkin di kepala mereka ada tanda “Keep away from Nancy”.

Tapi, alih-alih memikirkan itu, nggak tahu kenapa aku lebih suka berpikir bahwa ini adalah satu bentuk kasih sayang Tuhan sama aku. Allah tahu, kalau aku sedang berada di lingkungan yang seharusnya dan memang berbeda sama aku. Tuhan membentengi para laki-laki itu agar nggak dekat-dekat sama aku, karena Tuhan tahu ada benteng yang besar diantara kita – aku dan para laki-laki.

Iman.

Tuhan nggak mau aku sakit hati, atau bahagia sesaat. Sang Khalik sudah mempersiapkan kebahagiaan yang sesungguhnya untuk aku.

Ya. Aku lebih suka berpikir seperti itu.

Bahkan sampai virus jomblo ini membuat hatiku karatan, aku akan terus berpikir seperti itu. Karena lewat ini, Tuhan mendidik aku menjadi dewasa.

And I really thankful of that.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar