Sabtu, 14 Januari 2012

Pulsaku Oh Pulsaku

<31 Desember 2012>

Bener kata orang, jaman sekarang itu memang jaman edan. Bayangkan, semua orang makin konsumtif dan makin banyak tukang bohong. Berbeda sekali dengan jaman dulu. Walaupun aku enggak pernah hidup dijaman waktu kita masih perang, tapi aku bisa ngerasain, suasana kekeluargaan masih kental terasa.

Terus terang, aku ini bukan tipe orang yang terlalu boros alias suka menghambur-hamburkan uang. Tapi, kalau dikaitkan dengan masalah pulsa, aku harus angkat tangan. Memang, sih yang beliin pulsaku itu orang tua, tapi kalau minta pulsa terus, rasanya agak sungkan. Iya, enggak?

Sebenarnya, aku sedang terdampar di krisis pulsa yang menjadi sejadi-jadinya. Semenjak liburan ini, aku semakin hiperaktif di dunia maya, karena memang enggak ada yang bisa aku kerjain selain nyapu, ngepel, makan dan tidur. Paling enggak, internet bisa menyembuhkan rasa galau yang tiba-tiba menyergap kalau lagi sendirian.

Tapi, masalahnya ada di pulsa lagi. Pulsa modem sudah diisi beberapa hari yang lalu sama papa ‘superhero’. Enggak nanggung-nanggung, ngisinya lima puluh ribu. Bayangkan. Awalnya, aku menikmati internet unlimited selama, umm.. 5 hari lebih, lah. Tapi, setelah aku pake, dan aku ngecek pulsa besoknya, pulsaku berkurang drastis menjadi 8 ribu rupiah. Bisa dibuat apa pulsa sebanyak itu? Paling hanya internetan beberapa menit.

Aku juga punya hape modem – buat keluarga, tapi masalahnya sama, krisis pulsa. Kalau pake hapeku, internetnya slow, harganya selangit. Tapi, daripada enggak online, jadi aku memaksakan diri buat memakai hape kesayanganku. Daan, coba tebak hasilnya?

Aku hampir lumutan karena nungguin loadingnya halaman twitter ke akses. Setelah aku cek pulsanya, 1000 rupiah melayang. Kejamnya duniaa.. Aku mencoba stay cool dengan mengambil earphone dan mendengarkan musik. Tapi sialnya, lagu yang aku dengarkan itu adalah lagu Christina Perri yang Thousand Years. Aku menjerit histeris di dalam kamar sambil berguling-guling di atas kasur. Galau pun menghampiriku.

Kenapa harus ada yang namanya pulsa di dunia ini?

Disaat-saat seperti ini, aku malah jadi keinget iklan di TV. Ceritanya ada cewek sama cowok yang lagi bertengkar hebat. Si cewek bilang “Kenapa enggak ngomong? Sms enggak pernah, telpon enggak pernah..” lalu dengan nada memelas si cowok bilang “Aku enggak ada pulsaaa..”

Kalau misalnya aku yang jadi si cowok, aku gak bakalan nyia-nyiain kesempatan. Aku bakalan bilang, “Aku enggak ada pulsaaa.. Beliin, dong. Kalo enggak loe gue end! Loe gue end!” dengan mata yang berkaca-kaca. Idih, dramatis abis.

But, all I know about pulsa is one thing. Udah beycek, ujan enggak ada oyjek. Titik, bukan koma.

Kalian yang belum addicted sama internet, atau sama komputer kayak aku, mendingan jangan pernah nyoba, deh. Bersyukur aja sama diri kamu sendiri, yang akhirnya enggak perlu susah-susah mikirin pulsa kayak aku. Ada yang punya pengalaman yang sama?

Novel Addicted part 2

<13 Januari 2012>

Hari ini, aku menemukan sebuah fakta baru tentang diriku: mudah tersentuh. Dan, hari ini, aku juga banyak belajar, kalau apa yang kita pikirkan jelek dari awal itu, enggak selamanya jelek, dan bisa terjadi sama diri kita sendiri. Ini, masih nyambung sama fakta yang aku sudah sebutin dari awal tadi.

Hari ini pula, aku telah melakukan sebuah pencapaian yang sungguh luar biasa dalam hidupku: aku berhasil minjem nopel Autumn In Paris, yang udah pernah aku bahas di posting sebelumnya, dan tergolong keramat, karena dapat membuat orang yang nangis.

Yah, ceritanya emang sama persis seperti yang pernah aku ceritain. Yaitu, tentang cowok dan cewek yang saling mencintai, tapi ternyata mereka itu satu ayah. Hingga akhirnya, si cowok itu meninggal akibat sebuah kecelakaan di tempat kerjanya.

Sebelumnya, temenku bilang “Kamu baca terakhir-terakhirnya di rumah aja, biar suasananya tambah kerasa..” Aku diem aja. Dalam hati aku udah bilang ‘aku enggak bakalan nangis, kalo cuma baca nopel cinta-cintaan kaya beginian’ layaknya seorang cewek yang dihadapkan sama kangguru yang bersarung tangan tinju. Jadi, deh aku ngikutin saran temenku itu.

Awalnya, setelah pulang sekolah, ternyata rumahku sepi. Jadilah aku langsung ngambil buku Autumn In Paris itu, dan mulai baca. Itu pada saat pukul setengah satu siang. Dari awal, aku cuma manggut-manggut sambil diem aja, tapi mulai sampe tengah-tengahnya, mulai ada sensasi dag-dig-dug yang enggak jelas. Buku yang aku baca, udah semakin tipis. Itu waktu jam 2. Dan, akhirnya nyampe ke klimaks cerita, aku mulai bergerak-gerak tanda kegalauan tingkat maksimal. Naik, turun kasur. Beneran sebuah nopel yang ngabis-ngabisin tenaga banget. Untung aja, enggak ada kehadiran angin yang di dalam perut. Bisa-bisa, suasana galau langsung jadi kaco.

Dan, tebak apa yang terjadi sama aku? Aku lagi tengkurap si atas kasur, waktu aku baca lembaran-lembaran maut (baca: menguras emosi) itu. Aku menitikkan seekor, eh setetes air mata. Sialnya, aku nangis disaat yang enggak tepat. Mama dan adikku udah mulai berdatangan dan menyerbu kamar. Tapi untungnya, aku udah nyembunyiin mataku di balik guling. Berasa kayak jadi maling.

Ceritanya emang so sweet banget, beda sama nopel cinta-cintaan lain yang pernah aku baca. Kalau yang ini, cinta-cintaannya berkelas banget. Enggak terlalu me ‘rusak’ otak kecilku. Apalagi pas terakhir si cewek bilang ke si cowok yang lagi koma dan hampir meninggal ‘Jangan marah padaku kalau aku menangis.. Hari ini saja.. Kau boleh lihat sendiri nanti. Kau akan lihat tidak lama lagi, aku akan kembali bekerja, tertawa, dan mengoceh seperti biasa.. Aku janji.’

Kalimat itu terngiang-ngiang di kepalaku (yang notabene enggak gampang lupa sebuah cerita, beda sama pelajaran, hehehe.. :p)

Dampaknya?

Aku meringkuk di bawah selimut, nangis sampe 15 menit lamanya.

....

Ternyata aku juga melankolis. Lebih parah, kelihatannya.

Untung juga, ya aku enggak punya nopel cinta-cintaan. Baca nopel minjem aja nangis, apalagi punya sendiri? Hidup hemat! :D

Moral of the day: Jangan sok kuat, kalau ternyata kenyataannya juga melankolis. Dan harus sedia tisu dan makanan kalau baca nopel cinta-cintaan. Sekian, terimakasih.

Novel Addicted

<12 Januari 2012>

Kita semua (orang-orang yang suka baca), pasti enggak asing sama yang namanya nopel, atau bahasa kerennya novel (ngarang) Jenis nopel bermacam-macam, mulai dari nopel cinta-cintaan yang menguras emosi, sampai nopel komedi yang menguras makanan. Eh, ralat menguras tawa. Dari semua nopel ini, nopel yang paling aku suka adalah nopel komedi.

Pernah, nih ya, aku baca sebuah novel komedi, yang penulisnya kelihatannya selalu ngalamin kejadian-kejadian aneh bin ajaib dan dia bisa mengemas kejadian aneh itu, menjadi kumpulan beberapa cerpen, yang akhirnya dijadikan sebuah buku. (kelihatannya aku salah beli, deh. Ini bukan nopel, tapi kumcer : kumpulan cerpen, I think..) Tapi beneran, buku ini keren banget. Enggak sia-sia ngeluarin uang banyak (padahal dibayarin)

Tapi, faktanya temen-temen sekelas aku, sekarang lagi addicted banget sama yang namanya nopel cinta-cintaan yah, romantis-romantis gitu, deh. Apalagi temen-temen cewek. Mereka sampai rebutan buat minjem nopel dari temen aku. Cerita awalnya, gini..

Di suatu Senin, ada temennya temenku, sebut saja E, ngembaliin 2 nopel cinta-cintaan yang dipinjem dari temenku, sebut saja V. Aku, yang punya rasa keingintahuan yang amat sangat besar, langsung tanya ke si V, dan ngeliat nopel itu. “Itu novel apa, V?” Tanyaku sambil ngeliat-ngeliat ke tangan si V yang lagi megangin nopel itu. “Ini..” Kata dia sambil nunjukkin dua buku itu ke aku. Sampul depannya, bagus banget menurut aku. Perpaduan warnanya harmonis. Tapi setelah aku ngeliat judulnya, ternyata judul bukunya itu masing-masing: Summer In Seoul dan Autumn In Paris. Kalau yang Summer In Seoul itu cover depannya ada cowok yang lagi ngangkat ceweknya ke atas. Warnanya polos aja, sih. Waktu aku ngeliat sinopsis di belakang buku itu, ternyata ceritanya tentang penyanyi cowok, yang akhirnya pacaran sama seorang cewek. And, kalau yang Autumn In Paris covernya menurutku keren. Terlihat banget suasana musim gugur – adanya daun-daun cokelat, pohon yang meranggas – dan, ditengahnya ada dua orang – cewek, cowok – yang lagi duduk di kursi taman. Menarik banget kelihatannya. Pas aku buka-buka buku itu sebentar, ternyata ceritanya tentang cewek yang suka sama cowok, yang ternyarta saudaranya sediri. Penuh dengan drama, sih kelihatannya.

Dan ternyata, dugaanku itu emang bener..

“Aku, lho sampe nangis baca buku yang Autumn In Paris, V..” Komentar si E, yang notabene udah minjem dan baca buku itu. “Iya, aku juga..” Kata si V. Sebenernya, aku juga bingung, apa yang membuat mereka sampai semelankolis itu.

Mereka berdua nangis baca nopel itu. Namun setelah buku Autumn In Paris itu berpindah tangan (dipinjem) sama temen aku sebut saja L, dengan tenang dia berkata “Enggak.” Saat aku nanya “Kamu nangis enggak, L baca novel itu?” kalau itu emang bener, berarti dia orang yang, yah setipe sama aku, lah.

Selidik punya selidik, ternyata si V punya empat seri buku itu. Yang pertama Summer In Seoul, terus Autumn In Paris, Winter In Tokyo, dan Spring In London. Ngikutin banget. Kalau aku, sih nopel yang berseri gitu, palingan cuma Harry Potter. Hidup Harry Potter! Dan, aku agak bingung sama penulisnya, kenapa dia memakai nama-nama season, sebagai judulnya. Belum lagi pemilihan negaranya. Enggak Indonesia banget. Nanti, aku mau ngikutin penulis itu. Aku bakalan bikin buku, lima seri. Judulnya : Autumn In Surabaya, Spring In Cilandak, Summer In Bandung, Winter In Malang, dan Banjier In Jakarta. Horas! Yah, walaupun aku tahu, sih enggak ada empat musim itu di Indonesia, karena Indonesia jelas-jelas bebet-bibit-bobot nya adalah negara tropis. Tapi, seenggaknya menghayal itu perlu juga, kan? (ngeles)

Jujur, aku juga pernah nangis, gara-gara baca sebuah nopel. Tapi, nopel yang aku baca itu, bukan sebuah nopel cinta-cintaan. Nopel itu lebih fokus sama keluarga. Judulnya My Twin Sister. Buku itu mengisahkan tentang kembar bersaudara, yang menemukan sebuah buku yang isinya ramalan tentang keluarga mereka. Di buku itu dituliskan, bahwa salah satu anggota keluarga mereka nantinya ada yang meninggal akibat kecelakaan atau akibat penyakit kronis. Dan ternyata, ramalan itu ditujukan kepada salah satu dari mereka, yang ternyata punya penyakit kanker. Kembarannya tentu saja sedih, dia menulis di diary nya, kronologis dari awal, sampai akhir saudaranya itu meninggal. Berakhir dengan sad ending, tapi bener-bener nyentuh banget. Dan, yang aku suka, ternyata yang nulis itu umurnya enggak jauh-jauh amat sama aku, jadi niat banget nulis, nih.

Hari ini juga, aku menemukan seseorang yang juga kebelet banget nerbitin buku (ada yang mau enggak, ya?) Dia adalah sahabatku sendiri, uhm R. Dia hari ini dateng ke rumahku, terus mengamati rak bukuku dengan tatapan setengah enggak percaya. “Gila, Vel (aku, red) bukumu banyak banget.” Katanya. “Hehehe.. Yah, begitulah.” Kataku sambil melepas sepatu. “Aku baru nyadar kalau kamu punya koleksi buku sebanyak ini. Mulai kapan ngoleksi?” Tanyanya. Aku diem aja. “Uhm.. Gak tau, sih tepatnya. Yang pasti mulai dari SD..” Kataku. Aku dan R ngobrol di depan rak buku. R keliatannya tertarik banget ngomongin masalah buku. “Emang, jenis novel yang kamu suka itu yang kayak gimana?” Tanyaku. “Aku itu suka novel yang ada romantisnya, horornya, sama persahabatannya.” Jawabnya. “Emang ada, ya novel kayak gitu?” Tanyaku lagi. “Aku nyari enggak ada, sih. Gemes aku, sampe pengen bikin cerita sendiri..”

Aku sebenernya juga suka nulis, sih. Tapi aku enggak bakalan kuat kalau nulis nopel yang berlembar-lembar. Aku pernah nyoba nulis cerpen 3 lembar aja, kalau enggak sehari selesai, pasti besoknya udah males ngelanjutin. That’s how I make a story, how about novel? I don’t know... Kalau bikin nopel seratus lembar sehari, tanda-tandanya mata bakalan bengkak enggak karuan.

Bahkan, aku punya cita-cita jadi penulis. Tapi, mungkin bakatku emang sampai nulis di blog aja, kali ya? Hehehehe.. :p

M.A.T.E.M.A.T.I.K.A

<11 Januari 2012>

Well, hello again guys! Miss me already? Hehehe.. Karena ada sebuah masalah yang lumayan complicated dan bikin jengkel serta membosankan, aku harus berhenti mengupdate blog ini untuk sementara waktu. Yahh.. Untungnya, masalah itu sudah kembali terpecahkan oleh otak cerdasku yang selalu berputar-putar. (bohong banget)

Kali ini, aku mau membahas tentang sebuah masalah yang kelihatannya cukup lazim untuk kalangan remaja yang merangkap sebagai seorang pelajar (including me) Sebagai seorang pelajar, kita emang dituntut banget buat belajar sesuatu yang baru. Sedikit curcol, hal ini aku masukin di esai 500 kata aku buat lomba, loo. Walaupun sebenarnya, aku enggak yakin aku sudah melakukan kewajiban sebagai siswa tersebut secara baik dan benar, atau malah gatot, alias gagal total. Dan, kadang-kadang, belajar sesuatu yang baru itu menjengkelkan, banget.

Kalian punya pelajaran yang kalian enggak suka? Secara blak-blakan aku memproklamirkan, kalau aku itu benci sama matematika. Garis bawahi itu. (bukannya udah?) Dan, aku yakin kebanyakan orang pasti kayak gitu. Aku enggak pernah mau berurusan sama yang namanya angka-angka, rumus phytagoras, dan aljabar-aljabar yang menguras hati, pikiran, dan makanan (lho?)

Kebanyakan orang enggak suka matematika, lho. Aku udah melakukan survei lapangan. Sasaranku bukan anak-anak yang sejenis sama aku (yang bibit-bebet-bobotnya udah enggak suka banget sama matematika), tapi sasaranku adalah para anak-anak emas para guru. Siapa dia? Tak lain dan tak bukan adalah penyandang ranking 2 besar di kelas. Sebut saja namanya Bejo dan Suminah (asal-asalan banget..)

Interview awal

(aku lagi duduk di kelas sambil nyemil makanan. Kebetulan, di depanku ada Bejo, karena iseng plus jengkel banget sama pe er matematika yang udah di kasih sebelumnya, jadi aku tanya-tanya si Bejo)

Aku : Woi, Jo.. Pe er kamu udah selesai, belum?

Bejo (yang notabene adalah juara kelas, hanya menatap dengan tenang) : Ya, udah lah..

Aku : Oh, ya? Pe ernya susah banget, sih..

Bejo : Enggak, sih gampang-gampang aja.

Aku : (manyun) Iya-iya, ngerti ranking 1 pararel..

Bejo : (giliran dia yang sewot) Apaan, seh!

Aku : Pelajaran yang paling kamu benci itu, apa, sih?

Bejo : Yaahh.. Gak ada.

Dalam hati, aku sempat berpikir, hebat juga nih anak. Mungkin, dia itu ibarat mobil yang tahan gempa, ya.. (emang ada?)

Aku : (tampang enggak excited) Iya-iya.. Anak pararel sama anak emas. Wii..

Bejo : Bukan gitu maksudkuu.. Adoh! Kalau aku itu, enggak ada yang enggak suka, cuma kalau agak enggak suka itu matematika..

Nah, harusnya dia bilang kaya gitu dari tadi. Untung aku enggak lumutan nunggu jawaban dia yang superumit bin superibet itu. Lanjut?

Interview kedua

Kejadian ini terjadi waktu moving class. (Oh, ya buat kalian yang belum tahu, sekolahku itu sistimnya moving class. Jadi kaya sistemnya di Hogwarts, tahu, kan sekolahnya HarPot.. ) Nah, aku dan si Suminah ini juga lagi nungguin anak-anak kelas lain keluar dari kelas yang suram, kelas matematika. Aku dan Suminah lagi duduk-duduk di bangku beranda kelas.

Aku : Haduh, matematika, rek.. Males aku.

Suminah : Aku juga males.

Aku : Pelajaran yang enggak kamu suka itu, apaan, sih?

Suminah : Ya matematika, sama.. biologi rasanya.

Well, inti dari semua interview yang aku lakukan secara spontan ini, adalah banyak orang yang benci matematika. Sekali lagi, garis bawahi itu, kawan.. (Udah!!)

But, akhir-akhir ini aku selalu mencoba buat berpikir positif tentang matematika, aku, dan makanan (makanan, lagiii..) Di belakang buku pelajaranku, ada tulisan kata-kata bijak, dari seseorang bernama S. Gudder.

The essence of mathematics is not to make simple things complicated, but to make complicated things simple.”

Jangan tanya artinya. Susah banget ngejelasinnya. (bukan berarti aku enggak ngerti kalimat itu, cuma kadang ada sesuatu yang gak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Widih..)

Aku tahu kenapa kalimat itu dipampang di sampul buku. Tujuannya enggak lain dan enggak bukan adalah supaya orang yang benci dan mempunyai pengertian yang jelek tentang matematika, menjadi punya pikiran yang positif tentang matematika. Ini nge-jleb banget, sih..

Matematika juga ternyata banyak kegunaannya. Contohnya, waktu kita lagi punya uang yang tinggal sedikit banget, kita bisa melakukan tindakan penyelamatan dengan menawar dengan para pedagang. (apa hubungannyaaaaaa?!!)

Dan, asal kalian tahu, sebelum aku menulis posting ini, aku udah terlebih dahulu berurusan dengan pihak matematika yang bertanggung jawab. Dan terus terang, kalau bisa, aku mau berguru sama orang yang buat soal, yang sukses membuat aku mengacak-ngacak rumah dalam waktu singkat. Ampooonnn!!

Berkat soal itu, aku menyadari satu hal. Matematika = Matimatika.

Hidup gratisaannn! (stres berat)

Tambahan, tambahan!

Buat yang ngerasa namanya aku masukin di postingan ini, dan aku samarin, maap banget ya. Maap, semaap-maapnya soalnya aku udah masukin nama samaran yang ngawur banget. Aku tahu, kalau kalian baca posting ini, kalian pasti marah. Tapi dengan rasa demokrasi, aku menegaskan bahwa aku akan kabur dan lari ngibrit ke kantin, lalu makan soto jika