Jumat, 09 November 2012

Talk From Flower, To Your Beautiful Heart (Part 3)


(Author's note: Akhirnya part 3 berhasil lahir dengan selamat. *tepuk tepuk laptop* Sebelumnya aku mau minta maaf sama temen-temen yang udah kebelet mau mbaca part 3 dari cerita ini, khususnya duo je yang udah kayak mau ngebeleh aku di sekolah, terima kasih. Berkat kalian aku jadi semangat banget buat nyelesain yang satu ini. :D Buat yang lainnya, selamat membaca, ya. Part-part awal masih belum ngena, tapi di part selanjutnya semoga permasalahannya cepet keliatan. Sabar menanti, ya kawans!)

“Jadi, selama ini kau pergi ke Amerika hanya untuk berpacaran?!” Pekik Elle terkejut.

Yang ditanya malah cuek. Charlotte mengambil teh yang sudah dihidangkan di meja sedari tadi, lalu menyesapnya tanpa suara. Elle menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Charlotte, tolong jelaskan padaku. Aku bingung..” Rengeknya.

Charlotte melirik sahabatnya itu sejenak, lalu meletakkan cangkir tehnya, masih tanpa suara. Dia lalu berdeham sejenak. “Tentu saja tidak hanya untuk itu. Kau tahu aku pergi ke Amerika, kan untuk melanjutkan studi.” Jawabnya ringkas. Elle masih melongo tidak percaya. Rasanya baru kemarin Charlotte mengatakan dengan jelas bahwa dia tidak akan berpacaran dengan pria manapun, dan sekarang dengan mudahnya dia mengatakan bahwa dia akan bertunangan. Ini terlalu cepat bagi Elle. Dia tidak rela ditinggal single disini sendirian.

“Hei, santai saja nona lavender. Aku disini tetap akan menemanimu, kok. Yah, karena studi diplomaku sudah selesai, jadi aku bisa menetap di Paris sesuka hatiku. Aku akan tetap disini sampai aku yakin ada orang yang pantas untukmu.” Kata Charlotte untuk menenangkan sahabatnya sejak sekolah menengah itu. Elle tersenyum. Perempuan di depannya ini memang tidak pernah berubah. Dia selalu setia kawan. Elle sendiri yakin, tipe perempuan seperti Charlotte ini tidak pernah main-main ketika mengatakan sesuatu. “Tapi awas saja kalau kau mendapatkan pria yang lebih tampan daripada kekasihku.” Tambahnya. Elle terdiam. Lalu tiba-tiba, kehangatan mulai menjalar di ruangan itu.

***

Elle terduduk di jendela kamarnya. Kamar Elle memiliki jendela yang cukup besar, jendela itu menghubungkan kamarnya dengan taman di rumahnya. Jika sedang bersantai, inilah kebiasaan Elle. Berpikir, dan berpikir.

Dia tidak memiliki kriteria pria idaman. Baginya, itu semua hanya klise. Semu. Jujur saja, selama belasan tahun dia hidup, dia tak pernah – sekalipun – memiliki kekasih. Dia sering menyukai laki-laki, tapi tak pernah terbalas. Alasannya sederhana. Bukan jodoh.

Elle menepuk pipinya. Hei, kenapa harus memikirkan tentang hal bodoh dengan cinta? Cinta akan datang dengan sendirinya, karena pemiliknya sudah punya benang merah. Tunggu saja, Elle, pikirnya.

Elle menatap bunga mawar putih dan bunga mawar merah yang ditanam berdampingan di taman rumahnya. Ya, sama seperti mawar putih dan mawar merah itulah dia nanti.

***

Elle mengelap etalase, benda terakhir yang perlu ia poles pagi ini. Keadaan tokonya terlihat sangat baik hari ini. Sebaik cuaca cerah yang mendekap pagi.

Tapi mata Elle rasanya masih berat, entah kenapa.

Elle melirik bertangkai-tangkai bunga yang ada di tokonya, namun pikiran tentang bunga Lily jingga yang dibeli oleh pria itu kembali muncul. Belum pernah Elle berpikir selama ini tentang seorang pelanggan. Biasanya dia hanya menganggap mereka sebagai orang awam yang tak mengerti sedikitpun tentang bunga.

Namun laki-laki ini berbeda. Auranya begitu.. Misterius.

Kata Charlotte, Elle mungkin hanya terpikat pada paras laki-laki itu yang begitu tampan. Tapi Charlotte tak mengerti. Ini lebih dari sekedar itu.

Elle menarik sebuah kursi, lalu menyeretnya ke dekat etalase. Dia menarik napas panjang. Angin lembut menerpa wajahnya. Dan dia bisa dengan mudah ditarik ke dalam alam mimpi.

***

Sekarang, Antonio punya kebiasaan baru: memotret.

Walaupun ibunya selalu mengomel tentang kebiasaan barunya itu, ibunya hanya bisa pasrah ketika Antonio mengatakan dia sudah terlalu penat dengan semua urusan pekerjaan. Dia butuh refreshing.

Apa yang biasanya Antonio potret? Entahlah. Apa yang dia lihat, yang menurutnya cantik, pasti akan dia potret. Insting fotografinya muncul tiba-tiba.

Naluri Antonio hari ini entah kenapa mengajaknya untuk pergi ke sebuah toko bunga. Dia masih ingat betul pagi itu, usaha ibunya untuk menjodohkannya dengan boneka-barbie-bernama-Corinne, juga paksaan ibunya agar dia mau bersikap manis dengan membelikan perempuan itu bunga.

Antonio meninggalkan Ferrarinya di rumah. Dia benar-benar malas untuk memakainya saat ini. Biarlah saat ini dia berkamuflase menjadi orang yang benar-benar normal.

Jalanan Paris dari hari ke hari memang tak ada bedanya, bahkan saat Antonio turun dari keretanya, barisan orang yang akan berangkat kerja sudah menanti dengan sabar untuk masuk ke kompartemen. Hidup normal seperti ini memang perlu, pikir Antonio.

Toko bunga Lé Seulé yang tampak berbeda dari yang lainnya itu mulai terlihat. Antonio mendekati  beberapa bunga yang dipasang di depan toko, lalu mulai memotret sejenak. Namun ketika dia mulai mengalihkan lensanya, sebuah pemandangan cantik terhampar di depan matanya.

Seorang gadis berambut pirang tertidur di atas kursi dekat etalase tokonya. Kepalanya terantuk-antuk, tapi wajah tentramnya masih terlihat. Antonio pernah bertemu dengan gadis itu ketika dia membeli bunga untuk Corinne. Getaran itu menyentuh dasar hatinya. Memang ada getaran tersendiri saat Antonio menatap gadis itu pertama kali, tapi dia mengacuhkannya. Dia tak menyangka itu akan muncul lagi.

Antonio menambah fokus kameranya, lalu menekan tombol potret.

Lalu, entah insting apa yang menggiring Antonio, kakinya melangkah menuju coffee shop dekat toko bunga itu, lalu membeli dua cangkir kertas kopi di sana. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar