Sabtu, 24 November 2012

Secuil Kata-Kata yang Terabaikan


When you just talked to someone, remember what words that you have spoken
When you just shouted someone, just remember how they talked to you
Cause what you said, will be remember by those people
And this scar that you have made, won’t be healed.

Yah, enggak tau kenapa aku jadi punya sentimental tersendiri sama orang-orang. Rasanya mulut kekunci. Enggak tau dan enggak mau ngomong apa-apa lagi kecuali hal yang penting.

Kata mama, faktor orang enggak didengerin, atau enggak kedengeran itu ada beberapa. Pertama, karena ngomong dari orangnya sendiri itu terlalu lembut, atau emang dipandang sebelah mata sama orang yang lagi diajak bicara.

Aku bingung, aku yang bagian mana. Bisa yang pertama, bisa yang kedua. Gak tau, deh. Ketika aku berusaha ngerasin suara yang menurut aku udah keras banget, mereka enggak ngasih tanggapan. Ketika aku ngulang-ngulang kalimat yang enggak ditanggapin itu, dikiranya cerewet. Ini sebenernya yang tuli yang mana, sih. Aku masih narik napas panjang, enggak meledak.

Lalu lain ceritanya ketika aku yang enggak denger.

Tanggapannya macem-macem. Ada yang masang muka males tapi dengan sok imut, ada juga yang teriak dengan frontal. Hei, ini negara demokrasi, dong. Kan terserah kita mau teriak apa enggak? Ya bener, sih. Tapi keliatannya itu adalah semacam guncangan emosional tau enggak. Ketika orang nanya baik-baik sama kita, tapi kitanya jawab dengan jawaban tereak sambil nantang.

Untung yang kamu teriakin itu saya.

Kata guru jurnal, masa remaja itu adalah masa dimana hal yang seharusnya enggak jadi masalah, akan kita permasalahkan. Tapi kalau gitu, gimana caranya kita tetep sabar?

Oke. Daripada nanti aku keterusan nulis kayak gini terus, dan nantinya jadi cyber bulliying yang enggak jelas, aku mau nyari topik lain.

Pendiam.

Itu aku banget. Dulu waktu SD, aku paling irit banget kalau bicara. Tapi itu enggak berarti aku anti-sosial sama temen-temen. Walaupun aku pendiam, tapi seenggaknya aku masih punya sahabat baik.

Beda banget sama temenku yang lain, kita sebut dia sebagai Dewi. Nah, dia sama-sama pendiamnya sama aku, tapi dia cenderung anti sosial. Kebetulan, Dewi ini temen sohibku pas TK. Dewi ini anaknya kalem banget. Tapi, yah sayang dia enggak punya temen.

Setiap hari, aku secara enggak langsung merhatiin Dewi. Dia pergi ke kantin sendiri, pergi kemana-mana sendiri. Jarang bahkan enggak pernah ditemenin sama satu orangpun. Waktu kerja kelompokpun, dia cuma diam, dan ngasih saran seperlunya aja. Suaranya kecil banget, sampai-sampai seakan terabaikan di kelas kita yang ramai waktu itu.

Dan sekarang, aku baru nyadar jadi kayak Dewi itu gimana rasanya.

Ketika suara kita enggak diabaikan, secara enggak langsung kita akan memilih tindakan diam. Lalu ketika kita enggak bicara seperti itu, orang ngira kalau kita itu ada apa-apa.

Mereka bahkan enggak sadar kalau itu karena mereka.

Bukannya menuding, tapi ini realita. Ketika kita cenderung terabaikan, hal terbaik yang kita lakukan adalah menjauh. Berusaha tidak membuat luka dan sakit hati lain, karena kata-kata kita yang terabaikan.


Memang apa sih salahnya berusaha untuk berbicara baik dengan aku yang sekarang? Separah itukah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar