Rabu, 27 Juni 2012

Cuplikan 'Secret Project'

“Aku tahu kau akan memakai jaket itu lagi, Dik,” Gumam Liana ketika mereka berada di garasi. Jim memandang jaket hitam bergaris merah dibagian kerah yang dipakainya. “Memangnya ada yang salah dengan ini?” Tanya Jim tak mengerti.

Liana berdecak heran. “Jimmy, adikku. Kau sangat tidak modis. Pantas saja tidak ada perempuan yang mau dekat denganmu,” Katanya. Hei, itu sakit.


Jim mengambil sepedanya, lalu mulai keluar. “Asal kau tahu, Kak. Tanpa baju yang modis pun, semua perempuan sudah jatuh hati padaku. Hampir setiap hari mereka mengerumuniku seperti serangga yang mengerumuni madu, kau tahu. Orang keren, tak perlu lagi sentuhan modis. Kami dilahirkan untuk diterima apa adanya,” Celoteh Jim panjang lebar sambil menunjukkan seringai jahil pada kakaknya. Kakaknya hanya menggelengkan kepala.

“Ayo cepat, Kak!” Kata Jim lantang. Di perjalanan, Jim berpikir hei, jawaban tadi keren. Dia tidak menyangka bisa menjawab kakaknya dengan jawaban se-cemerlang itu. Mungkin di berbakat menjadi presenter? Atau, pelawak? Mungkin saja.

Tapi tanpa mereka semua ketahui, pagi itu akan menjadi pagi yang tak terlupakan.
                                                                        ***
Liana dan Jim akhirnya sampai di taman. Mereka memarkirkan sepeda mereka di sebuah lapangan parkir yang cukup luas. Tak cukup sulit menemukan sepeda mereka yang begitu mencolok.

“Ah, sejuk sekali!” Kata Liana setelah turun dari sepedanya. Matanya langsung menelusuri sekeliling taman. Banyak bunga-bunga kecil beraneka warna yang bermekaran. Burung-burung gereja bersiul dengan riang. Pohon-pohon yang tinggi menggoyangkan daunnya sesekali. Di mata Liana, semua hal ini seperti sambutan kecil untuknya.

“Taman, kan memang selalu seperti ini. Salah Kakak sendiri tidak mau keluar mulai dari kemari,” Kata Jim.

Liana berdecak kecil. “Oke, Dik. Kau menang,” Kata Liana. Dia tidak ingin berdebat lebih jauh lagi dengan adiknya. Tidak sekarang.

                                                                        ***
Mata Jim masih menatap kakaknya dengan tatapan keheranan. Tidak biasanya kakaknya seperti itu. Mungkin, suasana di taman ini yang membuatnya tenang dan terkendali seperti itu. Setiap hari mengajak kakaknya kesini, mungkin bukan pilihan yang buruk.

Mata Jim kembali berputar mengelilingi taman dalam keheningan. Matanya menangkap sesosok laki-laki muda yang sedang duduk sambil membaca buku di atas sebuah kursi taman berwarna putih. Jim mengerutkan alisnya. Sepertinya dia kenal laki-laki itu.

Coba kita tebak.. Andrew? Bukan. Bimo? Bukan, bukan. Bimo sudah pindah ke luar kota beberapa tahun lalu. Kelvin? Bukan juga. Jim bahkan tidak kenal siapa itu Kelvin. Siapa laki-laki itu?
Jim pelan-pelan kembali melirik kakaknya. Kakaknya terlihat memperhatikan laki-laki itu sejenak. Dia terlihat.. Kaget? Malu? Entahlah, Jim tak bisa mengartikannya. Sedetik kemudian, Liana mengalihkan pandangan, lalu wajahnya – entah bagaimana dan mengapa – memerah.

Hei.. Sebentar. Itu clue.

Coba kita tebak lagi.. Jim kembali mengerutkan keningnya. Jika kakaknya menunjukkan reaksi seperti itu berarti.. Oh, Ken! Iya, Ken!
Jim kembali melirik kakaknya. Ide jahil kembali terselip di benaknya.

                                                                        ***
Liana menepuk-nepuk pelan kepalanya. Kacau. Super duper kacau. Kenapa Ken bisa ada di sini?! Itu mengerikan. Mengerikan dengan kata ngeri di dalamnya. Liana harus bisa menahan jantungnya. Urgh.. Ini mengganggu. Jantungnya selalu berdetak kencang dan dia harus menahannya. Sial.

Liana melirik Jim sejenak. Jangan sampai kutil yang satu ini melihat Ken. Dia tahu rahasia Liana. Jangan sampai juga dia memanggil Ken. Jangan pagi ini. Tolong jangan.

“Hei, Kak Ken!” Teriak Jim tiba-tiba. Oh, dasar kutil dia memanggilnya. Astaga. Jangan menoleh, Ken. Jangan menoleh, tolong.. Batin Liana meraung-raung. Liana menggigit bibir bawahnya dengan gugup.

Tapi sialnya, Ken menoleh.

“Hei, Jim! Hei, Liana!” Teriak Ken dengan lantang. Suaranya yang khas begitu menggema.

Liana melambaikan tangan pada Ken. Laki-laki itu tersenyum padanya. Ya ampun, dengan senyum seperti itu, dia bisa membangkitkan semangat orang yang melihatnya.
                                                                        ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar