Selasa, 19 Juni 2012

Song of Memories


Sekitar satu-dua minggu yang lalu, aku dan temen-temenku pergi ke sebuah mall di Surabaya untuk nonton film Soegija. Film yang mengisahkan tentang perjuangan bangsa Indonesia di masa-masa penjajahan. Filmnya bagus, lho. Boleh, deh ditonton untuk ngisi liburan. (Itupun kalau masih ada di bioskop, ya.. Aku enggak tahu soalnya. Belakangan ini, orang tua saya tidak lagi memasok koran karena enggak ada yang baca.)


Tapi, bukan itu yang mau saya bahas.
Di hari itu, aku dan temen-temen seantero sekolah (except kelas-kelas yang udah lulus) naik bis bareng ke mall tempat kita bakal nonton film itu. Nah, sialnya, satu bis dicampur. Kelas A (baik yang junior, maupun senior) di bis 5, kelas B (sama kayak kelas A, ceritanya) di bis 4, kelas C di bis 3, kelas D di bis 2, dan kelas saya yang kece, kelas E di bis 1 bersama kepala sekolah.


Sialnya lagi, too many couples in my bus. *uhuk uhuk* #nasib
Oke, itu berlebihan. Setahu saya, di bis 5 yang in relationship satu sama lain cuma 2. Tapi buat jomblo seperti saya, tetep aja itu masalah.

Tapi, bukan itu yang mau saya bahas.
Di dalem bis, terputar lagu-lagu random dari mini speaker yang temenku bawa. Dari lagunya Simple Plan, Kotak, bahkan lagu dangdut koplo pun juga ada. Bener-bener random.
Dari perjalanan pergi, sampe perjalanan pulang. Tetep aja si speaker itu bunyi. Temen-temen yang ada di sekitarnya juga ikutan nyanyi dengan berhasrat. Entah apa yang merasuki mereka hari itu.
Dan speaker itu memutar sebuah lagu yang mengingatkan saya akan sesuatu. Lagunya The Changcuters. Syairnya “Dudung dan Maman selalu bersama...” Ya, untuk sebagian orang lagu itu emang kurang berarti, tapi bagi saya itu berarti.

You know what?
Sebenarnya, lagu itu ngingetin aku akan kenangan waktu masih jadi kelas 7 dulu. Aku punya seorang teman baru, yang tak berapa lama, jadi sahabat. Yeah, I thought she was my bestfriend. Dulu, kita sempet sepakat buat memanggil satu sama lain dengan sebutan ‘Dudung’ dan ‘Maman’ seperti yang ada di lagunya The Changcuters itu. Berharap, persahabatan kita bisa awet kayak Dudung dan Maman.
Tapi, badai memang enggak bisa dicegah. Even, kita udah berusaha keras buat tetap bertahan. Dia mulai bosan. Bosan dengan saya. Memang kedengerannya kayak orang pacaran banget. Tapi ya, dia bosan dengan saya.
Umpamakan saja saya dan dia pacaran. Umm.. Jadikan dia laki-laki.
Akhirnya, dia seperti ‘memutus’ hubungan dengan saya. Ya, bukan putus seperti yang orang pacaran biasa lakukan, sih. Tapi putus yang ini, aku yakin lebih menyakitkan. Kalau orang pacaran, kita hanya menyiksa orang dengan verbal “Kita putus.” Tapi kalau saya, dengan tingkah laku. Seperti yang orang sering bilang, kata-kata menegaskan tingkah laku, dan tingkah laku menjelaskan kata-kata. Saya juga enggak ngerti apa hubungannya kalimat ini dengan yang kita udah bahas di atas.
Akhirnya, layaknya orang pacaran, dia udah move on. Udah nemu teman baru.
Aku emang sakit pada awalnya, tapi lama-kelamaan saya udah terbiasa. Kalau dulu saya ingin dia selalu mengabari saya, bicara dengan saya selama sehari, sekarang udah enggak. Rasanya lepas aja. Seperti teman yang lain. Mau bicara, iya. Gak mau bicara juga enggak papa.
Tapi karena speaker yang random itu, kenangan itu muncul lagi. Aku menatap dia dengan batin yang bertanya-tanya. Masihkah dia ingat?

Jujur, saat itu aku mikir enggak bakal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar