Senin, 04 Februari 2013

Truth, or Dare?


Aku merasa bahwa aku adalah cewek yang enggak tau malu.

Pemikiran ini muncul ketika aku pulang sekolah. Hari ini enggak ada bimbel, jadi pulangnya seharusnya lebih pagi. Tapi beberapa teman memanfaatkan momen enggak ada bimbel ini sebagai ajang truth or dare.
 Oke. Truth or dare sebenarnya juga bukan permainan baru. Ini biasanya.. biasanya lho. Dimainin sama anak-anak perempuan pas pajama party.

Dan.. apa juga pajama party? Pesta tidur. Makes sense?

Tapi jaman sekarang, udah jaman emansipasi. Cowok-cowok juga pada bisa main dipermainan ini. Dan..enggak asiknya mereka selalu milih dare. Katanya kalau milih truth enggak cowok. Oke. Mereka mungkin lupa kalo ini bukan ajang buat adu otot.

Back to my story.

Aku adalah salah satu orang yang ikut dalam permainan yang dimainin hampir.. umm.. sepersekian dari anak kelas. Nungguin giliran milih truth or dare rasanya lama banget. Mataku ngantuk setengah mati dan setengah berharap kalau aku bakalan cepetan dipilih biar aku bisa cepet pulang.

Akhirnya aku enggak kepilih.. Tapi aku tetep disuruh milih antara truth or dare. Salah seorang temenku nyadar kalau aku mulai bosen dan enggak sabar nunggu giliran, jadi secara berpihak dia memilih aku.

Truth or dare?” tanyanya.

Dalem otak udah kepeta kalau aku bakalan milih truth. Secara itu siang dan aku enggak punya niat sama sekali buat milih dare.

Truth.”

Temen-temen langsung diem seketika. Bingung mau nanyain apa sama aku yang – mungkin dimata mereka – plain. Hambar. Enggak ada yang menarik buat ditanyain.

“Umm.. Gini. Apa kamu masih ada perasaan sama ‘ehem’? Seberapa besar?” Akhirnya salah satu temen yang paling seneng buat aku nyinyirin di twitter nanya. Entah apa yang menginspirasi dia buat bertanya pertanyaan paling ajaib seperti itu.

Aku diem.. Terus merhatiin temen-temen yang mulai nanya pake body language. “Siapa si ‘ehem’ itu?”

Sayangnya.. sebagian besar temen udah tau tentang siapa dia. Bukan kejutan lagi. Mereka buat gestur yang menunjukkan inisial depan dia, nanya-nanya tanpa suara kayak ikan megap-megap. Ujung-ujungnya sama: mereka tau.

“Aku.. Mmm. Mungkin kalian udah tau, lah ya siapa. Sama dia.. aku masih suka. Tapi udah biasa.” jawabku. Sesaat kemudian aku nyadar. Kalau kata-kataku itu ambigu banget. Memihak dua sisi yang sama.

Well.. Sudahkah aku cerita kalau dia ada disana dan ngedengerin truth ku itu juga?

Dalem hati, aku ngerasa menang karena udah berhasil bilang kalau aku masih suka dia. Tapi dalam perjalanan pulang aku mulai ngerasa kalau aku setengah berbohong di permainan truth or dare itu. Enggak jujur sepenuhnya.

Dalam perjalanan pulang.. Aku terus-menerus memikirkan tentang apa kiranya yang salah dengan pengakuanku itu. Yang bener dalam jawabanku itu adalah, aku sudah biasa.

Biasa dengan kehadirannya, biasa dengan tertawanya, biasa dengan cara ngomongnya.. Bahkan biasa ketika ngeliat dia berdua - dengan pacarnya - dan saling mention di twitter.

Apakah itu mati rasa? Aku bertanya dalam hati.

Apa iya aku masih suka sama dia sementara ngeliat matanya aja aku udah biasa?

Jawabannya adalah mungkin iya, mungkin tidak.

Mungkin iya, karena jantungku enggak pernah lagi loncat-loncat setiap ngedenger suaranya. Mungkin iya, aku enggak suka lagi sama dia, karena enggak ada lagi perasaan pengen liat dan ketemu dia setiap hari. Enggak ada lagi perasaan pengen ngeliat dia ketawa atau ngelirik aku.. sekali aja.

Atau mungkin tidak..

Karena mungkin aku bukan mati rasa.. Tapi tahu diri karena aku mulai sadar, bahwa dia sama sekali enggak pernah ngelirik aku, enggak pernah tersenyum buat aku, enggak pernah nyimpan perasaan sedikitpun buat aku. Mungkin aku masih suka dia.. Tapi rasa suka itu sebenarnya udah terkurung dalam-dalam di sebuah kotak dalam hatiku yang aku sebut kenangan.

Apa aku sedikit plin-plan?

Iya.

Akhirnya, ketika seseorang memilih truth yang ia pikir adalah kebenaran, terkadang sesungguhnya yang berbicara bukan hatinya, tapi otaknya.

Otakku mengkomando bahwa aku masih suka sama dia, tapi sesungguhnya hatiku berkata lain. Hatiku sepertinya sudah menempatkan dia di sebuah ruangan berbeda. Ruangan yang kukunci rapat-rapat saat ini, dan nanti akan kubuka saat aku ingin. Hatiku menempatkan dia di sebuah ruangan, dimana masa-masa degupan jantung itu masih terasa, dimana luka itu terasa sangat nyata, tapi bukan di ruangan lain yang kusebut realita, kenyataan yang sebenarnya.

Sederhananya, hatiku seperti menyimpan kumpulan foto yang sudah tua. Ditempatkan di tempat yang aman, dan tidak akan terlalu sering dibuka.

Ketika aku mulai menyadari bahwa sesungguhnya aku yang lebih lama memendam perasaan ini dibanding pacarnya sendiri, terbersit sedikit perasaan enggak rela, dan merasa bahwa ini semua tidak adil sama sekali.

Tapi ketika mulai menyadari bahwa hatiku sudah berhasil melepaskan dia seutuhnya.. Aku mulai sadar bahwa Tuhan itu memang adil, dan ini kemenanganku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar