Jumat, 01 Februari 2013

My ‘Not Feeling Right’ Drama

Everyone owns their own drama.

Ada yang membesar-besarkan masalah.. Ada yang mengecil-ngecilkan masalah dan akhirnya masalah itu tertinggal tanpa penyelesaian.

Tapi ada juga yang sampai ngejar-ngejar pemecahan masalahnya sampai kejer-kejer. Pokoknya masalah harus selesai sekarang, atau enggak sama sekali. Mikirnya pasti gitu.

Lalu ada juga yang terlalu sering nengok ke belakang sampai enggak sadar bahwa ada yang lebih baik di depan.

Juga ada yang ujung-ujungnya cuma kelewat pasrah, dan ngebiarin semuanya selesai dengan sendirinya. Tipe yang udah capek ngejar-ngejar pemecahan masalah, dan akhirnya menjadi hambar serta anti-klimaks.

I don’t know what’s going on with my mind.

Seenggaknya aku enggak perlu terlalu mellow ketika mulai menyadari bahwa semuanya itu sedang bermain peran dalam drama kehidupan mereka.

Yah, mungkin enggak perlu dijelasin terlalu detil juga, sih macam apa drama kehidupan mereka itu. Kalau dibuat daftar, ya.. banyak.

Ketika aku ngeliat dia – mantan-taksiran – pas pulang sekolah, perasaan mengasihani diri sendiri kembali muncul. Otak mulai berandai-andai.

Coba dia enggak punya pacar..
Coba dia enggak kenal sama pacarnya sekarang..
 Coba si pacarnya dia enggak cantik-cantik amat..

Ujung-ujungnya sama: pasti aku masih punya kesempatan. Minimal enggak terlalu ngenes kayak gini. Ya.. kayak gini. Berandai-andai, mengasihani diri sendiri, juga secara enggak langsung membuat dosa karena melawan skenario Tuhan.

Masih inget banget ketika aku mulai suka dan getol-getolnya rajin sms dia. Saat itu adalah beberapa bulan sesudah dia putus sama pacar sebelumnya, dan aku mulai nyadar kalau aku suka sama dia.

Setiap sore, aku sms dia, pura-pura nanyain tentang tugas besok. Sekadar basa-basi walaupun tanggapan dia pendek dan selalu diakhiri dengan “wkwkwk”.

But, yeah. Love is blind and numb, indeed.

Ketika kita jatuh cinta, enggak ada rasa sakit hati, tuh. Enggak ada rasa tersinggung karena tanggapannya yang enggak sesuai dengan harapan kita. Yang ada cuma rasa penasaran.

Kebanyakan, lewat sms itu, keliatan banget kalau aku yang berusaha ngepanjang-panjangin percakapan dengan bertanya berbagai macam hal. Mulai dari pertanyaan paling basi seperti: “lagi ngapain?” sampe ngomongin temen satu kelompok.

Semuanya itu masih terpeta jelas sampe sekarang. Aku tahu kalau dia juga enggak bakalan inget hal sekecil itu. Karena semuanya udah tertutup.. termasuk hatinya, kan?

Sayangnya, waktu aku lagi getol-getolnya berusaha buat sms dia, dia juga lagi getol-getolnya nyoba pe-de-ka-te sama pacarnya sekarang. Dia sering banget nanya-nanya lewat social media ke gebetannya itu. Aku penasaran banget yang mana ceweknya.

Sampai akhirnya aku dipertemukan sama ceweknya secara enggak langsung..

Di sebuah kunjungan ke radio kita ketemu. Karena temenku kenal dia, dia nggodain tentang mereka – mantan-taksiran dan ceweknya – yang waktu itu masih digantung statusnya. Ngambang.

Aku senyum sambil ikutan nggodain dia, walaupun hati rasanya udah ditusuk-tusuk sekaligus dicambuk. Ternyata si mantan-taksiran enggak salah bikin nentuin pilihan.

Ya, setuju dengan pilihan si mantan-taksiran memang terdengar agak kejam terhadap diri sendiri.

Tapi beneran, kalau dibandingin sama ceweknya, aku merasa sedikit rendah diri. Dia lebih cantik, juga keliatan lebih perhatian sama penampilan dibanding aku yang cuek. Ujung-ujungnya sama: mengasihani diri sendiri.

Sampe akhirnya, mereka resmi jadian..

Lil bit show off on social media is a fine thing for them.

Tahu perasaanku saat itu? Cekat, cekit.. Rasanya kayak dilindes roda buldozer. Hati rasanya berat.

But gladly, I can slowly move on from this disease. Yap, perasaan itu hilang dan akhirnya digantikan dengan perasaan mati rasa.

Sampai sekarang, hanya dia mantan-taksiran yang kenangannya enggak pernah aku lupain sedikitpun. Seperti kata bu Flora, hal yang terbaik dan hal yang terburuk itu akan selalu diinget.

Aku enggak tahu, dia termasuk yang mana. Apakah dia yang terbaik karena sudah membuat organ yang memompa darah – jantung – ku berdetak kencang saat ngeliat matanya? Atau karena dia berhasil ngebuat aku enggak berani ngeliat matanya lama-lama?

Ataukah.. dia yang terburuk, karena telah menjatuh bangunkan hatiku?

One more confession if you read this: ketika temen-temen ngomongin betapa cocoknya kalian berdua, ada sesuatu yang menohok. Tapi disisi lain aku setuju dengan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar