Rabu, 13 Februari 2013

Each Memories

Jari-jari panjangku mengetik dengan cepat di atas keyboard. Bukan tugas, bukan skripsi, bukan cerita yang sedang kutulis. Aku hanya sedang mengetikkan sesuatu di dalam dunia dimana aku biasa melampiaskan semua perasaanku. Dunia maya.

Aku sendiri tahu, terlalu banyak bergantung pada dunia maya akan membuatmu kecanduan. Efeknya pun bermata dua, seperti narkoba. Tapi apa yang bisa aku lakukan jika dia tiba-tiba terlintas diotakku yang kapasitasnya tidak terlalu luas ini?

Haruskah aku meracaukan namanya alih-alih menuliskan sesuatu agar aku tenang? Haruskah aku tertawa tanpa tahu apa yang lucu untuk menghilangkan dia sejenak dari otakku?

Haruskah aku berharap dia hanya fatamorgana ketika dia lewat, duduk dan tersenyum di dekatku?

Aku bukanlah orang yang secepat dan setanggap itu dalam urusan melupakan. Aku bisa dibilang orang yang sangat lambat, dan sangat tidak responsif. Kadang aku sedikit bangga dengan sifatku yang sedikit menunjukkan bahwa aku adalah orang yang setia, tapi kebanyakan waktu kuhabiskan untuk meratapi nasib.

Tanganku tiba-tiba urung menekan tombol tweet. Pikiranku mulai berkubang disaat dimana aku mencoba untuk berkomunikasi dengannya lewat pesan singkat. Aku berharap dia akan mengerti kenapa aku yang jarang sekali mengirim pesan singkat ini mau mengirimkan pesan hanya untuknya. Aku harap dia sadar sendiri, tanpa kata, tanpa deklarasi bahwa aku menyukainya.

Gestur tubuhku pun sudah berbicara. Aku tak lagi hati-hati dalam menjaga sikap. Sikap sedikit berlebihan biasanya muncul ketika menyadari bahwa dia ada di dekatku. Tubuhku selalu waspada, seperti mempunyai sebuah radar untuk menemukannya.

Aku berharap dia tahu.

Ketika melihat senyumnya, tawanya, candanya. Rasanya mulai berbeda. Ada sebuah candu. Aku ingin selalu melihatnya tersenyum, bahkan melemparkan semua candaan yang bagi sebagian besar orang terkesan berlebihan itu.

Tapi aku mulai sadar, bahwa dia sudah menutup rapat-rapat hatinya.

Yang tak kusadari saat mengirimkan pesan singkat itu padanya adalah, dia sedang memperhatikan perempuan lain. Yang tak kusadari saat dia lebih sering tersenyum dan tertawa seperti itu adalah, dia bahagia karena bisa mendapatkan perempuan itu.

Bahagia karena cintanya. Bahagia karena kisahnya dengan perempuan itu. Bahagia, tanpa ada definisi aku di dalamnya.

Ketika pasangan baru itu beradu mulut, ada sedikit rasa harap bahwa mereka akan mengakhiri hubungan mereka. Itu jahat, aku sadar itu. Tapi aku juga tak mau jadi orang yang munafik, karena membohongi perasaan sendiri.

Tapi ketika pasangan itu – dia dan perempuan itu – mulai mesra kembali, dengan gusar aku hanya menutup tab browser ku, dan mulai mencari pelampiasan lain.

Disaat itulah aku mulai kenal dengan blog. Tempat dimana aku berkutat dengan semua perasaanku. Tempat dimana dia dan kekasihnya tak bisa menyakiti hatiku lebih jauh lagi.

Aku tidak tahu, apakah dia masih mempunyai waktu untuk membaca blog ku atau tidak, tapi mungkin hal yang ingin aku sampaikan hanyalah: terima kasih. Terima kasih membuatku menjadi sedewasa ini. Terima kasih karena membuatku terluka, sampai aku bisa menerima dan memikirkannya sampai sedalam ini. Terima kasih karena telah menjadi inspirasiku disaat tercepit untuk menulis.

Terima kasih atas semua rasa sakit itu.

Aku tahu, Tuhan pasti punya rencana dibalik semuanya. Dan lewat dia dan lagu Maybe dari David Archuleta, Tuhan sudah memberiku waktu untuk memutar semua kenangan itu dari awal.

Akhirnya, aku menghapus kata-kata yang tadinya ingin kutulis, dan meyakinkan diri sendiri bahwa aku, tak boleh lagi menyesali jalan ceritaku.
But my love is strong, I don't know if this is wrong.. - David Archuleta, Maybe 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar