Minggu, 23 Desember 2012

Talk From Flower, to Your Beautiful Heart (Part 5)


(Author's Note: Hei.. Akhirnya setelah writer's block - tepatnya kemalasan author - akhirnya aku berhasil melahirkan part selanjutnya. Ya, buat yang nunggu, makasih udah menanti selama ini. :') Itu berkesan banget buat aku. Penantian kalian itu bikin aku makin semangat nulis. Silahkan ditunggu part selanjutnya!)

Corinne menguap lebar. Bola matanya langsung menuju pada jendela kamarnya. Jendela yang tertutup gorden berwarna putih itu tertembus oleh semburat cahaya berwarna jingga. Corinne mencoba duduk di kasurnya dan mencoba untuk membuka gorden tersebut. Tapi ternyata badannya tidak bisa diajak bekerja sama. Kepalanya begitu sakit, dia merasa begitu lemah.

Corinne akhirnya menyerah pada kelemahan tubuhnya. Dia kembali menarik selimut, dan mulai berpikir panjang. Apa yang membuatnya menjadi letih seperti ini? Seingat Corinne, tadi pagi dia sehat-sehat saja.

Corinne menelan ludah. Tenggorokannya kering sekali. Sial. Kenapa dia harus sakit disaat semua orang di rumah pergi. Ibu dan ayahnya pergi  ke acara reuni sekolahnya. Corinne bingung.

Ketika Corinne melihat bunga lily jingga di sampingnya, dia mendapat akal.

***

“Halo?” Sapa Antonio pada orang di seberang teleponnya dengan malas. Tangannya sibuk menyapu beberapa kertas di atas meja, berusaha mencari dokumen mana yang terlewat penting untuk saat ini.

“Hai, Antonio.” Kata seseorang di seberang sana dengan nada lesu. Antonio mengerutkan sebelah alis. Tumben sekali Corinne seperti itu. Biasanya saja jika dia menelepon Antonio, dia akan mengajaknya pergi atau sekadar bercerita tentang teman-temannya yang kelewat ceriwis tentang mereka berdua.

“Ada apa denganmu?” Tanya Antonio dengan perasaan biasa saja.

“Aku.. Aku sakit. Sialnya, di rumah tidak ada siapa-siapa.” Kata Corinne dengan nada yang sedikit lebih riang. Antonio mendengus pelan. Mungkin bagi Corinne, pertanyaan tadi seperti menggambarkan Antonio yang panik dan khawatir padanya. Tapi, lihat realitanya. Antonio toh hanya menimpali dengan berdeham.

“Lalu?” Tanya Antonio sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ayolah, cepat nona Versailles. Dia masih punya banyak kerjaan disini. Memang Corinne mau tanggung jawab apa jika pekerjaannya terlantar dan akhirnya perusahaan keluarganya hancur? Walaupun Corinne adalah anak keluarga terpandang, Antonio yakin dia tidak akan se-bertanggung jawab itu.

Terdengar helaan napas panjang. “Antonioo.. Bisakah kau datang kesini? Kau datang kesini saja aku sudah merasa lebih baik. Kau tentu tidak mau aku terus-terusan sakit seperti ini, kan?” Tanya Corinne dengan manja.

Antonio memutar bola matanya dengan kesal. Gadis ini. Bisakah dia tidak mengganggu Antonio dengan permintaan-permintaan anehnya, sekali saja? Ditambah lagi, dengan nada sok-sok manja seperti itu. Urgh. Demi apapun, jika Corinne tidak kenal baik dengan keluarganya, Antonio bisa saja pura-pura tidak mengenalnya dan mencampakkannya begitu saja.

“Ya, ya. Aku akan datang nanti. Sudah dulu, ya aku sibuk.” Kata Antonio singkat. Menyerah dalam permainan nona Versailles ini, walaupun sirine di kepalanya sudah berdengung tanda berbahaya.

“Benarkah? Terima kasih! Aku tunggu, ya!” Kata Corinne. Dari nada bicaranya saja dia seperti mengundang temannya untuk ke pesta, gembira sekali.

Setelah telepon diputus, dalam hati Antonio merasa bersalah. Dia merasa seperti pemberi angin segar yang sifatnya seperti fatamorgana kepada Corinne. Antonio sadar, kalau cepat atau lambat, dia harus memberitahukan pada Corinne bahwa dia tidak bisa meneruskan semua drama ini. Cepat atau lambat.

***
“Gerald.. Gerald! Bagaimana ini? Kenapa kalian hanya melihat saja? Seseorang tolong panggilkan ambulance!” Pekik Charlotte sambil meletakkan kepala Gerald yang bersimbah dengan darah di pangkuannya.

Sementara Elle panik setengah mati. Suara dentuman keras itu ternyata berasal dari Gerald. Bukan. Tepatnya, sebuah vas porselen – entah disengaja atau tidak – mengenai kepala Gerald. Vas itu bukan vas yang terbilang kecil, namun bukan vas yang terlalu besar pula. Tapi siapa pelakunya?

Elle terus berlari. Tujuannya saat ini hanya satu: menemukan orang tua Gerald. Tanpa Charlotte beri mandat pun, Elle tahu apa yang harus ia lakukan.

Itu dia. Terlihat sepasang suami-istri yang sudah berumur sedang bercakap-cakap. Wajah mereka terlihat santai. Masing-masing dari mereka memiliki mata yang mirip.

“Nyonya, Tuan. Anda harus ikut denganku. Ayo.” Kata Elle sambil menggandeng tangan keduanya. Sepasang suami istri itu terlihat bingung.

“Tapi, ada apa, Nak?” Tanya sang istri. Elle hanya menggeleng. Air matanya sudah hampir menyeruak. Dia terlalu panik jika menyangkut dengan urusan hidup-mati seseorang.

“Aku tidak bisa menjelaskannya, Nyonya. Anda harus melihatnya sendiri. Aku.. Aku mohon.” Kata Elle memohon. Keduanya mengangguk lemah, lalu mengekor di belakang Elle.

Ketika akan melewati bagian depan ballroom, terlihat kerumunan orang. Di depan, terparkir mobil berwarna putih. Rupanya seseorang sudah memanggil ambulance. Elle dan kedua orang tua Gerald menyela kerumunan tersebut, lalu melihat beberapa petugas yang dengan cepat menandu Gerald yang terkapar lemas. Sayup-sayup Elle mendengar suara tarikan napas tegang dan isak tangis yang tertahan di sampingnya.

Charlotte yang melihat Elle dan orang tua Gerald segera berlari kecil. Gaunnya terlihat robek di beberapa bagian, lalu berlumur darah. Matanya terlihat sembab dan merah, tapi dia tidak menangis.

“Ibu, Ayah. Kurasa kalian harus cepat. Ambulance nya akan berangkat sebentar lagi.” Kata Charlotte dengan nada setengah menahan tangis. Kedua orang tua itu kembali mengangguk pasrah. Sejenak, Elle menangkap tanda tanya di mata kedua orang tua Gerald.

“Aku akan menyusul. Aku akan membereskan yang ada disini. Kasihan para tamunya, kan? Mereka perlu kepastian dari si pemilik acara. Aku akan secepatnya kesana.” Jelas Charlotte.

“Tapi kau bisa menyuruh seseorang untuk mengurus mereka, Nak.” Ucap ayah Gerald. Suaranya yang dalam sepertinya sudah berhasil diwariskan pada Gerald.

Charlotte hanya menggeleng. “Tidak. Cepatlah pergi.” Katanya singkat.

Tepat sesudah ambulance itu berlalu, Charlotte tiba-tiba memegang tangan Elle. Air matanya mulai tumpah. Dia mulai menangis.

Yang bisa Elle lakukan hanya diam, lalu mengelus pundak Charlotte, memberikan sedikit kekuatan pada sahabat baiknya itu.

***
Elle terdiam di balkon yang ada di lantai dua ballroom bernuansa kolosal itu. Ballroom sangat sepi, dan Charlotte sudah pergi ke rumah sakit. Logikanya masih terusik dengan rasa penasaran. Benarkah ini hanya kecelakaan? Rasanya aneh.

Mata Elle memutari sekeliling balkon, lalu beralih ke bawah, tempat dimana vas itu mengenai kepala Gerald. Jika itu kecelakaan, kenapa harus Gerald? Lagipula, penyangga balkon itu cukup tinggi. Tidak mungkin pengelola meletakkan vas bunga – apalagi vas bunga porselen – di sana. Risiko jatuhnya terlalu besar.

Elle memang bukan detektif, tapi nalurinya berkata ini aneh. Terlampau aneh.

Matanya kembali menangkap suatu benda yang tidak disadari Charlotte atau keluarga Gerald. Setangkai bunga carnation kuning.

Elle mengerutkan kening. Lalu membekap mulutnya sendiri sejenak. Ya, ada seseorang yang telah Gerald kecewakan lewat pertunangannya dengan Charlotte. Karena carnation kuning berarti: kamu mengecewakanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar