Jumat, 26 Oktober 2012

Talk With Flower, To Your Beautiful Heart (Part 1)



Ketika senja menyapa, gadis itu mulai termangu dalam kesunyian yang teramat dalam. Penantiannya selama ini, masihkah berharga? 

Toko bunga Lé Seulé yang berada di tengah hiruk pikuk kota Paris, terlihat lengang, walaupun tak sedikit juga pengunjung yang berada di dalamnya.

Primadona toko ini adalah bunga tulip merah yang di datangkan khusus dari negeri asalnya, Belanda. Sesuai dengan citra yang melekat pada kota Paris - kota romantis - banyak sekali orang yang membeli sebuket bunga tulip ini, untuk pasangannya. Untuk kejutan di Eiffel Tower, atau untuk lamaran.

Bagi Elle, makna bunga tulip merah sesungguhnya adalah kasih yang sempurna. Kasih yang tulus, mencintai kekurangan dan kelebihan setiap orang.

Tapi dalam prakteknya, tidak seperti itu.

Seluruh penjuru dunia tahu, bahwa ada saja sejenis manusia yang serakah, termasuk dalam urusan cinta. Dan mereka dengan embel-embel biasanya memberikan sebuket bunga tulip merah untuk pasangannya. Bagi Elle, ini tidak benar sama sekali.

Pandangan Elle sampai pada depan tokonya. Dari etalase yang sedang diurusnya saat ini, terlihat dengan jelas Eiffel Tower yang sangat indah. Selama ini, dia selalu mengagumi keindahan Eiffel Tower. Tapi - percaya atau tidak - dia tidak pernah pergi ke sana. Pikiran bodoh selalu mengganggunya. Dia selalu berpikir, bahwa menara Eiffel akan lebih menyenangkan bila di datangi bersama pasangan.

Mungkin harus menunggu bertahun-tahun lagi untuk momen seperti itu.

Klining.. Klining..

Bel kecil yang berada di dekat pintu tokonya berbunyi. Seorang pelanggan masuk ke dalam toko bunga mungil itu. Dia adalah seorang laki-laki yang terlihat familiar dimata Elle, tapi dia tidak tahu dimana dan kapan persisnya dia pernah melihat laki-laki itu.

“*Bonjour, maître. Anda ingin bunga yang bagaimana?” Tanya Elle dengan sapaan khasnya. Bibir mungilnya menyunggingkan senyum termanis. Customer service memang seperti ini seharusnya, kan?

Laki-laki tegap itu terlihat canggung sejenak, sebelum akhirnya menghampiri Elle yang berada di belakang etalase.

“Saya ingin bunga yang terindah disini.” Katanya dengan raut wajah yang sedikit bingung.

Elle memperhatikan laki-laki ini sejenak. Laki-laki ini tampan. Kedua alisnya tebal dan berwarna hitam. Matanya yang tajam berwarna coklat gelap. Kelihatannya dia berbeda seperti laki-laki Prancis lainnya yang biasa pergi ke toko bunga, lalu dengan mudahnya menyatakan cinta pada seorang perempuan.

Elle berdeham sejenak. “Uhm. Kalau begitu, saya akan merekomendasikan bunga tulip, bagaimana?” Tanyanya.

Wajah laki-laki itu sedikit tegang ketika mendengar rekomendasi Elle. “**Aucun. Jangan tulip. Jangan. Yang lain saja, nona.” Katanya dengan sedikit kaku.

Laki-laki itu berjalan memutari toko bunga milik Elle. Jemarinya sesekali menyentuh beberapa kelopak bunga. Langkah laki-laki itu terhenti pada sekuntum bunga lily berwarna jingga.

“Nona, saya akan membeli yang ini.” Kata laki-laki itu pada Elle.

Elle tertegun. Selama ini, bunga lily berwarna jingga jarang sekali dibeli. Hal ini sangat wajar karena menurut beberapa orang, bunga itu bermakna kebencian, kesombongan, dan penghinaan. Mengertikah laki-laki ini tentang arti bunga itu?

“Baik, tuan.” Kata Elle masih dengan keheranannya.

***

Elle mengunci pintu tokonya beberapa jam setelah laki-laki lily jingga itu pergi. Ini hari yang melelahkan. Dan suasananya masih sama. Satu laki-laki, atau satu perempuan, membeli berkuntum-kuntum bunga dengan wajah tak bersalah.

Perempuan itu menghela napas kecil, lalu melihat ke langit. Sebentar lagi, musim semi akan berlalu, digantikan dengan musim panas. Lalu, dia harus membanting tulang saat musim gugur dan dingin, karena sedikit sekali – bahkan nyaris tidak ada – bunga yang bisa didapatkan saat kedua musim itu.

Andai saja ada seseorang yang bisa membantunya dan menjadi tumpuannya..

Elle menggelengkan kepalanya. Tidak, dia tidak boleh berpikir terlalu jauh. Itu hanya akan membuka lagi kenyataan bahwa dia benar-benar sendirian sekarang. Ibu dan ayah Elle meninggal dunia dalam kecelakaan kereta bawah tanah dua tahun lalu. Elle yang saat itu berada di rumah neneknya, masih selamat. Namun, tak lama setelah itu, neneknya dipanggil karena serangan jantung. Elle yang saat itu masih berumur tujuh belas tahun sangat terpukul.

Untungnya, neneknya mewariskan sesuatu yang tak dapat dpikirkan oleh orang lain. Ilmu tentang bunga.

Sudah menjadi rahasia umum kalau nenek Elle adalah seorang yang sangat mencintai bunga. Di pekarangan rumah mereka, tertanam berbagai macam bunga dengan berbagai macam makna. Semua, beliau sayangi layaknya anak sendiri. Sebagai cucu satu-satunya, Elle sangat beruntung bisa mendapatkan ilmu dari neneknya itu.

Elle menatap langit jingga yang berada di atasnya. Semuanya akan lebih baik nanti. Pasti.

***

Antonio menatap makanan di depannya dengan wajah datar. Dia memotong steak daging tenderloinnya tanpa tenaga, seakan tak berniat sedikitpun untuk melukai daging yang aromanya menggoda itu. Ini restoran mahal, seharusnya ia bisa menikmati makanannya. Suasana disini juga tenang, dan mendukung. Tapi, teman makan memang selalu menjadi faktor pendukung.

Di depannya, ada seorang gadis berwajah bak boneka Barbie yang sedang memakan saladnya dengan anggun. Dia Corinne, seorang gadis yang cerdas dan cantik. Banyak laki-laki yang menyukainya, tapi hanya Antonio yang begitu bodoh. Sampai saat ini, dia juga tak mengerti, kenapa dia tak bisa mengagumi Corinne layaknya laki-laki lain. Entahlah.

Tadi pagi, dia diseret oleh ibunya untuk membelikan sesuatu untuk Corinne. Dengan gusar, dia membawa Ferrarinya ke sebuah toko bunga yang terkenal di tengah kota Paris. Petugas disana menawarkannya tulip, tapi ia tak mau. Dia ingin yang lain.

Dan pilihannya, jatuh pada lily jingga.

(continued)

Ket: *Bonjour, maître : Selamat pagi, tuan.
      **Aucun : tidak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar