Minggu, 16 September 2012

PELARIAN


Oleh: Nancy Oktavelia

(Cerpen ini udah pernah aku kumpulin buat mading sekolah yang masih belum dipasang. Untuk menghormatinya, mari kita beri hormat. *bungkuk 90 derajat*)



Suara sirine membelah malam yang terasa begitu mengancam itu. Keringat dingin mengucur diseluruh tubuhku sementara jantungku terasa ingin keluar dari rongganya. Tapi logikaku tetap mengendalikanku. Aku tahu aku masih harus pergi dari tempat ini, secepatnya. Aku harus mengayuh sepeda ini ke tempat dimana aku bisa aman dan jauh dari semua kebisingan ini.

   Wii.. Woo..

            Sirine yang mengganggu itu masih saja berbunyi. Paru-paruku yang malang mengembang dan mengempis dengan cepat, menarik dan membuang gas dari tubuhku. Ya, aku harus mencari tempat untuk beristirahat. Aku menoleh ke belakang, mobil-mobil polisi yang mengejarku tidak terlihat, walaupun suara sirinenya membelah malam. Aku membawa sepedaku ke sebuah gang kecil dan gelap.

      Dan disinilah aku. Terduduk dengan wajah penuh keringat, dan napas terengah-engah. Semua organ tubuhku memberontak hari ini. Jantung yang terus memompa darah dengan tak teratur, paru-paruku yang memelas meminta oksigen lebih banyak, kaki dan tanganku yang ngilu, juga tenggorokan yang mulai kering. Kalau bukan karena obat itu, aku tidak akan seperti ini. Dipergok dalam posisi, dan keadaan yang salah. Mereka seharusnya tidak mengejar aku seperti ini. Aku adalah korban.

           Satu organ tubuhku yang dari tadi mengatur logikaku, sekarang membawaku masuk ke dalam emosi pada waktu itu. Dia memutar memoriku layaknya sebuah tape recorder.

                                                                        ***
Aku ingat betul saat ibu mengajarkanku untuk melafalkan kata. Banyak hal yang beliau ajarkan, namun dua yang betul-betul melekat diingatanku. ‘sakit’ dan ‘sedih’. Aku yang masih kecil begitu seringnya mengucapkan hal itu di depan ibu, tanpa mengerti arti kata-kata itu sebenarnya. Tentu saja ibu tidak terlihat gembira, ketika aku mengucapkan kedua kata tersebut. Harusnya aku mengucapkan ‘ibu’ dan ‘ayah’ atau setidaknya ‘makan’ dan ‘minum’. Tapi entah kenapa dari sekian banyak kata yang ibu ajarkan, hanya dua kata itu yang aku ingat, sampai sekarang.

            Aku juga ingat bagaimana kerasnya ibu dan ayah mendidikku sejak saat itu. Mereka memang membanting tulang untuk mencari penghasilan, tapi ibu dan ayah sepakat untuk bergantian menjagaku. Aku sempat merasa seperti anak aneh yang harus diawasi setiap saat.

            Aku masuk dalam pergaulan yang salah dalam masa sekolah menengah pertamaku. Aku yang masih lugu dan suka tantangan, ditantang oleh teman-teman sebayaku untuk membelikan barang-barang yang tak seharusnya anak-anak seumur kami beli. Mereka menyuruhku untuk membelikan mereka hal-hal kecil, seperti rokok sampai hal-hal yang keterlaluan, seperti minuman keras dan narkoba. Mereka menyuruhku untuk mencoba barang-barang itu, tapi aku tidak mau. Entah kenapa, mencoba barang-barang seperti itu tidak pernah menarik perhatianku. Walaupun tak bisa kupungkiri aku sangat suka hal-hal baru. Aku bahkan hampir tertangkap oleh polisi saat memuaskan andrenalinku itu.

            Semakin dewasa, aku semakin mengerti, mana hal yang benar, dan mana yang salah. Harus aku akui aku berdosa saat itu karena telah membelikan barang terlarang pada teman-temanku. Ini visiku kedepan: aku takkan pernah melakukan hal seperti itu.

            Aku bekerja di sebuah perusahaan koran. Rasanya senang sekali bisa bertemu dengan orang-orang yang memiliki rasa ingin tahu yang besar dan berpengetahuan luas. Mereka semua sangat ramah dan kritis. Aku sangat nyaman berada bersama mereka, apalagi dengan seniorku disana, Alika.

            Alika sebenarnya lebih muda daripada diriku, tapi dia bekerja setahun lebih dulu daripadaku. Dia adalah tipe perempuan yang tangguh dan berpegang erat pada idealismenya. Aku masih ingat ketika kutanya, apa yang membuat dia berani menjadi seorang jurnalis. Dia berkata dia punya misi dan tujuan yang baik. Dia percaya semuanya akan menjadi baik juga. Seperti simbiosis mutualisme antara kupu-kupu dan bunga, sesederhana itu.

            “Jadi, kak Dika. Apa yang membuatmu tertarik untuk menjadi seorang jurnalis?” Tanyanya ketika jam makan siang hari itu.

            Aku terkekeh sejenak sambil meletakkan kamera DSLRku di atas meja kantin. Aku menarik kursi, lalu duduk di atasnya.

            “Alasan pertama, rasa ingin tahu, andrenalin. Alasan yang kedua, aku merasa ini adalah bidang yang menarik. Seperti sebuah kanvas yang awalnya putih bersih, aku ingin melukisnya dengan warna yang indah..” Kataku sambil melakukan gestur melukis. Alika memperhatikanku sambil meminum es tehnya.

            Aku terdiam sejenak sambil menatap kosong pelayan yang sedang melayani tamu tak jauh dari kami. “Alasan ketiga, aku ingin menyalurkan rasa ingin tahuku ini, ke tempat yang tepat..” Kataku dengan nada menggantung.

            “Oh, ya? Kenapa?” Tanya Alika. Insting jurnalisnya mulai tergugah, kelihatannya.

            “Kenapa? Yah, aku punya pengalaman yang buruk..” Aku menceritakan masa-masa kelam di masa sekolah menengah. Aku pikir Alika akan mempunyai respon yang buruk tentang ini, tapi dia hanya diam dan memperhatikan sampai ceritaku selesai.

            “Jadi, Kak Dika dulu pernah membelikan miras dan narkoba ke teman-teman Kakak?” Kata Alika. Aku tersenyum suram. Dia berdeham sejenak. “Kalau menurutku, Kakak enggak sepenuhnya salah. Menurutku, semua itu tergantung orangnya. Kalau misalnya orang itu punya moral yang tinggi, dia enggak akan terjerumus memakai hal-hal seperti itu. Kakak beruntung masih bisa mengendalikan diri saat itu. Tapi ingat, kalau Kakak menghadapi sesuatu seperti itu, jangan takut selama Kakak merasa tidak bersalah.” Katanya.

            Dia memperhatikanku yang terlihat tak bersemangat. “Tapi, ayolah Kak. Itu kan hanya masa lalu. Yang aku lihat sekarang adalah Kak Dika yang hebat dan keren.” Katanya sambil menjulurkan lidah. “Ayo, Kakak pesan saja. Hari ini aku yang traktir..” Lanjutnya.

            Aku menyeringai kegirangan saat itu juga.

                                                                        ***
Sepulang kerja hari itu, aku menyetir mobilku ke sebuah kafe. Itu kafe yang terkenal karena masakan steak nya yang selalu memuaskan. Aku berpikir akan makan disana, lalu membelikan dua porsi untuk orang tuaku di rumah. Saat aku sudah mengucapkan pesananku pada sang pelayan, mataku terpaku pada sosok yang baru saja masuk. Seorang laki-laki. Postur tubuhnya sangat berbeda, tapi aku masih mengenal kedua mata dingin nan tajam itu. Keenan, teman sekolah menengahku.

            Ada keinginan untuk menyapanya, tapi aku takut. Aku takut dia masih seperti dulu. Keenan yang suka mabuk, dan pecandu berat narkoba. Tapi, hei, Andrenalinku berkata. Sejak kapan kau jadi penakut seperti ini? Bukankah sudah banyak orang seperti dia yang kau temui?

            Mulutku membuka hendak menyapanya, tapi dia duluan yang melihatku. Dia menyeringai sesaat, menampakkan gigi yang mulai menguning karena kafein.

            “Hei, kawan lama!” Katanya.
                                                                        ***
Kami berbincang-bincang selama hampir satu jam. Dia menceritakan banyak hal. Mulai dari jurusan apa yang ia ambil saat kuliah, sampai berapa gadis yang dikencaninya. Sungguh, walaupun ia kawan lamaku, tetap saja dia membosankan.

            Dia mengecek jamnya. Wajahnya menyiratkan sesuatu yang tak dapat kubaca.

            “Baiklah, kawan. Aku pulang dulu. Sampai ketemu lagi.” Katanya pamit. Aku mengangguk. “Senang sekali bisa bicara denganmu setelah sekian lama.” Kataku.

            Dia berjalan keluar. Saat aku sudah membayar dan hendak pergi, aku dipanggil oleh seorang pelayan. “Maaf, mas. Apa ini milik Anda?” Tanyanya sopan sambil menyodorkan sebungkus obat. Aku mengerutkan kening. Mungkinkah ini.. Ah, tidak. Pikirku. Aku tidak boleh berpikiran negatif. Mungkin ini obat flu milik Keenan yang tertinggal.

            “Ah, ini milik teman saya. Terima kasih.” Kataku singkat sambil memasukkan bungkusan kecil obat itu dalam saku jaket.

            Tiba-tiba, semuanya terjadi begitu cepat. Seorang laki-laki bertubuh gempal menarik tanganku ke belakang. Dia membawaku ke luar dari restoran itu.

            “A.. Apa maksudnya ini? Siapa kamu?” Tanyaku panik. Jantungku seperti menabuh genderang. Dia berdetak sangat cepat.

            “Jangan mengelak. Kau tertangkap karena telah menerima narkoba dari orang itu!” Kata orang itu dengan nada keras.

            “Dari mana kau tahu kalau ini narkoba?! Mungkin saja, kan ini hanya obat flu?! Tunjukkan padaku kalau ini memang narkoba!”  Kataku mengelak.

            Orang itu hanya diam. Sudah bukan rahasia lagi kalau dia adalah polisi yang sedang menyamar. Kami para jurnalis mendengar berita-berita yang tersebar tentang polisi dengan sangat baik.

            Lidahku mulai kelu. Bagaimana kalau ini memang benar-benar narkoba? Apa aku harus berurusan lagi dengan obat keji ini? Otakku terus membisikkan jawaban-jawaban panjang. Tanpa dikomando, sikuku yang bebas menyikut perut polisi itu. Terang saja aku langsung berlari sekencang mungkin.

            “Hei, mau kemana kau?!” Teriak polisi itu sambil berusaha mengejarku. Sekilas kulihat dia sedang berkata sesuatu pada alat komunikasinya.

            Aku berlari ke tempat parkir, berharap bisa membawa mobilku. Tapi mereka lebih cepat. Dua mobil polisi nan garang sudah ada disana. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri dengan frustasi, lalu ‘meminjam’ tanpa ijin sepeda yang sedang terparkir. Ini transportasi terbaik yang bisa aku dapatkan saat itu.

                                                                        ***

Paru-paruku mulai normal, sementara mataku mulai terbiasa dengan cahaya gelap yang dari tadi menyelimuti gang ini. Otakku mulai mendapatkan satu hal penting: aku tak bersalah, kenapa aku harus lari? Jawabannya adalah, aku takut. Ya, aku kembali takut menjadi seperti dulu, nyaris tertangkap tangan membelikan narkoba untuk temanku.

            “...Tapi ingat, kalau Kakak menghadapi sesuatu seperti itu, jangan takut selama Kakak merasa tidak bersalah.” Kata Alika saat itu membuatku terenyuh. Iya, dia benar.

            “Diam di tempat dan angkat tanganmu!” Seru seseorang dengan keras. Aku menoleh begitu cepat sampai leherku terasa begitu sakit. Polisi. Mereka mengacungkan pistolnya di hadapanku. Aku sudah tahu, cepat atau lambat mereka akan menemukanku. Aku bergeming. Aku tahu kata-kata itu seharusnya untuk para penjahat, dan itu bukan aku.

            “Hei? Kau punya telinga tidak? Cepat angkat tanganmu!” Hardik seorang polisi lainnya. Dia terlihat geram. Tangannya memegang pistol dengan mantap.

            “Aku tidak bersalah..” Kataku jelas dan mantap.

            “Apa kau bilang?! Kau sudah tertangkap tangan, jadi mengaku saja!” Kata polisi yang geram tadi.

            “Aku tidak bersalah..” Kataku.

            Dor.

            Entah siapa yang menarik pelatuk pistol itu yang pasti dia tepat sasaran. Selongsong peluru dingin menembus bagian dadaku.

            “Sakit..” Ucapku tertahan. Aku seperti aku yang masih kecil. Mengucapkan sebuah frasa secara acak. Tapi sungguh aku beku.

            Gelap. Inilah kawanku sekarang. Kebekuan dan kedinginan juga menjadi saudara setiaku. Tapi, setidaknya hal yang kukatakan benar adanya.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar