Kamis, 06 Juni 2013

Aku Disini

(Author's note: Cerita lain yang berhasil saya lahirkan liburan ini. Selamat menikmati~)


Matahari bersinar sangat terik sampai-sampai rasanya membakar punggungku. Cahaya matahari itu membuat mataku silau. Jika sudah seperti ini, biasanya ibu akan mengeluarkan ungkapan bahwa matahari sangat sehat hari ini.

Hari ini kubertemu denganmu, seorang sahabat yang kutemui dua tahun lalu. Seorang sahabat yang terkadang membuat iri. Seorang sahabat yang begitu menyilaukan dengan banyaknya pesona yang berada pada dirimu.

Kau adalah seorang yang begitu cerdas, berjiwa pemimpin, tapi bukan tipikal yang otoriter. Kau adalah tipe orang yang demokratis, begitu katamu. Kau pernah mengatakan padaku, bahwa memimpin itu tidak perlu suara yang keras. Yang seorang pemimpin perlukan adalah sebuah ketegasan, bukan kemarahan yang membara. Kau selalu berhasil membuat seisi kelas terdiam dengan suaramu. Sebuah kemampuan yang seisi kelas sudah akui hebatnya.

Kau begitu kalem, begitu kata mereka. Tipikal seorang ibu yang baik ketika engkau sudah beranjak dewasa nanti. Begitu penurut, juga lihai dalam pekerjaan rumah. Sering kali kau mengeluh jika hampir selama liburan ini, kau selalu sibuk dengan pekerjaan bersih-bersih rumah.

Kau sangat baik. Tak ada kata-kata yang bisa kuungkapkan lebih jauh lagi.

Akhir-akhir ini kau sering melamun. Tiba-tiba terdiam dalam percakapan kita. Sering kali kumendapati kamu menatap kosong suatu tempat sambil meminum minumanmu. Ketika kutanya apakah kau melamun, kau selalu menjawab bahwa kau sadar sepenuhnya. Hanya tidak tahu ingin bicara apa.

Kau duduk di atas meja, terlihat mendengarkan ocehan teman-teman disekitarmu. Tersenyum tipis, lalu mengambil air minum dari tasmu. Kau mulai membuka segel minuman itu, lalu mulai meneguknya. Tatapan kosong itu hadir lagi.

Aku menghampirimu, lalu duduk di sebelahmu. “Hei. Bagaimana kabarmu?” tanyamu padaku.

“Baik sekali,” jawabku pelan. Kemudian aku menepuk pundakmu. “Kamu kenapa melamun?”

Kau terkekeh. “Apa aku terlihat seperti orang yang melamun?” Pertanyaan klise. Tak perlu kujawab. “Aku nggak ngelamun, cuma lagi diam aja,” Jawaban yang klise pula.

Sesaat kemudian, laki-laki itu melintas di hadapan kita. Laki-laki yang menyilaukan di matamu. Laki-laki yang mencuri hatimu sampai sekarang. Laki-laki yang selalu muncul di setiap tulisanmu. Laki-laki yang selalu muncul di setiap mimpimu. Aku terkesiap, lalu menatapmu yang mulai terdiam lagi.

Aku mulai disadarkan. Mungkin selama ini diammu bukanlah emasmu. Kau diam bukan karena kau tak ingin, atau bingung hendak bicara apa. Kau diam karena kau sudah terlalu lama kosong. Hidupmu yang begitu monoton setiap harinya, menuntunmu dalam sebuah masa dimana kau bingung dan mulai bosan dengan rutinitasmu. Salah satu yang terenggut adalah kemampuanmu untuk bicara. Ini karena tak ada yang mengingatkanmu, bahwa masih banyak yang menginginkanmu.

“Apa kau merindukannya?” Aku bertanya tiba-tiba. Kau terlihat kaget, lalu mendengus pelan. Tatapan matamu meredup. Sungguh aku rindu dimana kedua mata itu begitu bersinar saat bercerita di depan kelas.

Kau menatap laki-laki itu, membuatku ikut menatapnya. Rambutnya baru saja dipangkas. Membuatnya terlihat aneh, tapi terlihat segar di sisi yang lain. Laki-laki yang semakin tampan tiap tahunnya, begitu ucapmu. Saat itu aku mendengus, lalu mulai berkomentar dalam hati. Heh.. Laki-laki yang menghancurkan hatimu tiap saat juga, kan? Laki-laki sama yang tak pernah peduli padamu, kan?

Ini bukan opera sabun. Kau tak perlu merelakan dirimu untuk menjadi orang yang mundur dalam sebuah cinta segitiga. Kau tak perlu menjadi orang yang cintanya bertepuk sebelah tangan terus-terusan. Itu menyedihkan. Begitu komentarku saat kau mulai menangis karena tak bisa menahan luapan perasaan yang begitu menyayat itu. Kau selalu menjawab, “Ini karena aku menyayanginya.”

Hidupmu sebenarnya tidak pantas menjadi seperti opera sabun yang ceritanya terus melilit itu. Kau pantas bahagia. Tapi kau adalah tipikal orang yang masih berpegang pada tradisi. Laki-laki yang harus bergerak duluan. Yang tak pernah kau tahu adalah laki-laki tak tahu diri itu tak pernah menyukaimu. Dia tak peka padamu. Dia hanya menganggapmu sebagai perempuan terhormat yang tak perlu cinta, padahal nyatanya kau hanya perempuan biasa.

Jika aku menjadi seorang laki-laki, tentu dengan mudah aku akan jatuh cinta kepadamu. Kau baik, manis, cerdas. Tak ada yang bisa menolak semua kelebihan itu. Tapi dibalik kelebihan pasti ada kekurangan. Kekuranganmu adalah kau tak terlalu bisa mengirimkan sinyal kepada laki-laki yang kau sukai.

“Aku.. nggak tahu. Bahkan melihat dia saja aku nggak berani,” Kau mengetuk-ngetuk tutup botol di tanganmu dengan jari telunjuk. Sudah terlalu lama kau naik-turun dengan perasaanmu. Kadang kau menyukainya dengan menggebu-gebu, kadang kau merasa bahwa kau sudah menggantungkan harapanmu tentangnya.

“Kemarin aku bermimpi.. tentang dia lagi,” Akhirnya kau berani membuka pembicaraan tanpa harus aku yang bertanya duluan. Kau melirikku, sedangkan aku menatapmu. Sebuah perjanjian tanpa kata diantara kita, bahwa cerita ini rahasia.

Mimpi tentang laki-laki itu sering menjadi topik utama pembicaraan kita. Tentang dia yang menggandeng tanganmu dalam mimpi, tentang dia yang mulai jatuh cinta padamu dalam mimpi. Entah sudah berapa banyak mimpimu, aku tak ingat pasti. Tapi intinya, kau begitu menyayanginya sampai kau membawanya ke dalam alam tidurmu.

“Aku bermimpi.. bahwa dia memelukku dari belakang, lalu mengangkat tubuhku. Membuatku sedikit takut, namun senang,” ceritamu tanpa perlu komando. Aku hanya mengangguk kecil.
               
“Lalu?”

“Aku seperti diantarkannya ke suatu tempat.. tapi aku tak tahu dimana,” Kalimatmu menggantung, lalu kau mendengus sambil tersenyum. “Padahal aku tak pernah berpikir apapun tentangnya sebelum tidur, tapi entah kenapa aku membawanya ke dalam tidur,”

“Mungkin pikiranmu tentangnya terbawa sampai ke bawah alam sadarmu,” ucapku menenangkanmu.

Kau mengangkat alis, lalu tersenyum tanpa bahagia. “Yah.. mungkin juga, ya,” Begitu jawabmu sesudahnya. Lalu, kau mulai meneguk minuman dalam botolmu lagi.

Aku kembali menatapmu dengan penuh rasa iba. Kau sahabat yang kusayangi. Sahabat yang menjadi tempat keluh kesah. Sahabat yang memberiku cakrawala yang tak kutahu. Tapi kau harus berakhir menyedihkan seperti ini. Berlarut dalam harapan yang terus menerus kau pendam.

Kau membawa laki-laki itu ke dalam mimpimu, walau kau yakin laki-laki itu tak membawamu ke dalam mimpinya. Kau tersenyum saat laki-laki itu tersenyum, walau kau yakin laki-laki itu tak akan tersenyum jika kau tersenyum. Kau menyayangi laki-laki itu, walau kau tahu dia tidak menyayangimu.

Cinta bertepuk sebelah tangan adalah permainanmu, begitu ucapmu.

Aku menatap langit-langit kelas, lalu mulai memaknai semua ini dengan kalimatku sendiri. Sebenarnya, cinta yang seperti ini adalah cinta yang tulus. Tak pernah mengharap dibalas. Cinta menyakitkan yang mungkin hanya bisa ditangani oleh orang sepertimu.

Aku menepuk pundakmu, membuat kedua mata itu menatapku kembali. “Aku ada disini, sahabatku,” Itu ucapku padamu, mengungkapkan semuanya. Kau hanya mengangguk.

“Ya.. Aku tahu.”

Tak ada lagi yang bisa kulakukan padamu untuk menghilangkan perasaanmu, atau setidaknya mengurangi sedikit penderitaanmu. Tapi aku ada disini. Untuk mendengar ceritamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar