Selasa, 12 November 2013

Laki-Laki di Gedung Seberang

Hari ini hujan. Walaupun hanya rintik-rintik, namun tetesan air hujan membawa kesegaran luar biasa bagi tanah kering yang terpecah karena teriknya matahari. Semua orang bergembira menyambutnya. Tak terkecuali aku, yang sudah lama merindukan aroma tanah khas hujan.

Nama aroma itu pertrichor. Sebuah istilah ilmiah yang biasa digunakan untuk menyebutnya. Aku mengetahuinya saat melakukan riset untuk menulis sebuah cerpen yang kukumpulkan sebagai tugas sekolah. Aku menyukai pertrichor. Ketika menghirupnya, kau akan mendapati ketenangan menjalar ke seluruh saraf tubuhmu.

Dentingan piano sebagai intro sebuah lagu menembus jendela kelas. Samar-samar terdengar vokal khas Christina Perri melantunkan melodi A Thousand Years. Perasaan tenang semakin menjadi-jadi. Ini hari hujan yang luar biasa. Dengan pertrichor, langit mendung, dan lagu A Thousand Years.

Sejenak aku gelisah, mengingat sesuatu yang ingin kulihat sedari tadi. Aku ingin melihat seorang laki-laki di gedung seberang. Seseorang yang mungkin tidak pernah kusangka akan menarik perhatianku.

Lantas aku mengunyah cumi-cumi goreng yang kubawa dari rumah sedari berpikir. Ada dorongan untuk membuka social media, lalu membuka profilnya. Berharap dapat menemukan sesuatu yang berarti untukku.

Lama aku terdiam. Sesaat kemudian bel berbunyi.

***

Hujan ternyata hanya singgah. Hanya menyisakan lapangan yang basah, akibat tetesannya yang hanya sebentar saja.

Aku sejenak tertegun. Melihat sosoknya membuka pintu kelas, lalu masuk ke dalamnya tanpa menoleh sedikitpun. Sekelebat sosoknya selalu menjadi perhatianku, kendati dia berada di lantai atas, sedang aku berada di lapangan.

Seorang teman menarik tanganku, menyuruhku agar terus melangkah. Aku mengikuti setiap inci gerakannya, namun tidak dengan mataku.

Manik mataku terus-menerus tertuju ke pintu yang tertutup itu, berharap ia akan keluar dan menampakkan sosoknya.

***

Dengan langkah gontai, aku merebahkan diri di atas kasur. Kegiatan hari ini sangat padat. Aku harus meawawancarai beberapa orang untuk event sekolah, aku juga harus menyortir beberapa opini yang sudah terkumpul. Walau pekerjaan ini sebenarnya tidak terlalu menguras tenaga, namun ini terasa berat untuk kedua mataku yang sudah kelelahan sejak pagi tadi.

Iseng, aku membuka daftar lagu yang berada di ponsel. Jari-jariku bergerak memainkan touch pad, mencari lagu yang ingin kudengarkan. Dan pilihan itu jatuh pada lagu debut Jin, seorang solois perempuan dari Korea.

Judulnya Gone.

Entah mengapa setiap melodi yang kudengarkan dari lagu ini membawa pikiranku ke arahnya. Laki-laki yang berada di seberang. Aku menggigit bibirku, lantas mencoba untuk membuka social media.

Ternyata dia menuliskan sesuatu. Terlihat seperti sedang mengasihani dirinya sendiri yang sepertinya tak pernah beruntung tentang cinta.

Aku tersenyum getir. Seharusnya ia sadar, bahwa ia tak perlu menanti seorang malaikat jatuh dari langit. Dia tak perlu menanti seseorang yang jauh letaknya.

Walau sepertinya rasaku tidak terlalu sempurna, namun nyatanya rasaku ada untuknya.

Seandainya ia sedikit peka, lalu memahami, merasakan, mendengar. Harusnya ia lebih tahu dari siapapun tentang rasaku. Tentang aku yang selalu mengamatinya, memperhatikannya, memikirkannya.

Aku selalu suka ketika melihat sekelibatan sosoknya. Selalu suka setiap inci tulisan tangannya yang rapi. Selalu suka keberadaannya di sekitarku. Selalu ingat bagaimana sentuhan kecilnya di jemariku.

Namun toh memang selalu seperti ini akhirnya. Perasaan terpendam takkan berarti apapun selain kenangan yang terukir di hatimu.

.

.

Setidaknya Tuhan sudah mengizinkanku untuk jatuh cinta lagi. Walaupun sebatas diam-diam suka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar