Selasa, 06 Agustus 2013

Bulan Purnama Terakhir

Luckily ada ide lagi. Ini dia!



Matahari mulai kembali ke peraduannya, berganti tugas dengan sang bulan. Sang bulan berhasil membuat semua orang terpukau dengan kembalinya ia menjadi bulatan penuh cahaya di langit. Hari pertama bulan purnama kembali menyinari langit tempatku bernaung.

Aku menarik napas dalam-dalam, lantas memeluk kakiku erat. Dinginnya malam mulai menusuk tubuhku, namun aku tak berniat untuk berpindah ke tempat yang hangat sedikitpun.

Beberapa tahun yang lalu kita menikmati bulan purnama di langit yang sama. Dengan kau di sampingku, menggenggam erat jemariku, seakan jemariku adalah benda yang paling berharga untukmu. Kau pernah bilang, tanganku sehangat secangkir teh yang biasa kau seduh tiap pagi. Teh Cina kesukaanmu.

Saat itu, sang bulan menyinari wajahmu. Membuatmu terlihat seperti seorang artis yang disinari oleh sinar warna-warni di atas panggung. Senyummu terkembang. Semanis gulungan gula berwarna merah muda di festival.

Kau menatap bulan dengan takjub, menikmati indahnya sang bulan. Kau berkata kau seperti terbuai ke dalam alam mimpi. Dengan bulan.. dan aku bersamamu. Kau bilang kau tak akan pernah meninggalkanku dan akan terus menikmati bulan bersamaku.

Namun nyatanya kau pergi. Meninggalkanku sendiri dengan sang bulan. Tak ada lagi bayangmu disisiku, tak ada lagi tanganmu yang melindungi tanganku dari dinginnya angin malam, tak ada lagi senyum manis yang bisa kulihat tiap saat.
Aku menarik napas panjang, memasukkan udara malam yang minim oksigen ke dalam paru-paruku. Kemudian, kurapatkan jaketmu yang kebesaran ditubuhku. Sebuah barang yang tak pernah sempat kukembalikan padamu.
Sambil meletakkan dagu di atas lutut, samar-samar kuhirup aroma tubuhmu yang menguar di jaket ini. Sudah kucuci berulang kali, namun aroma itu masih muncul. Membuatku makin merasakan rindu yang mulai mengiris-iris kalbu.
Apakah kau sedang menikmati bulan bersamaku hari ini? Ah. Mungkin pikiranku terlalu mengada-ada.
Aku mengerutkan bibirku, berusaha menahan rasa sakit yang makin lama makin terasa. Sudahlah. Mungkin lebih baik aku kembali.
Aku berdiri, lalu membersihkan pakaianku dari debu yang menempel. Sesaat kemudian kutangkap sosokmu berdiri di sebelahku.
Kau menatap bulan, menunjukkan sisimu dari samping. Sisi favoritku. Matamu menatap bulan sendu, sambil tersenyum kecil. Aku tak mempercayai mataku.
Sesaat kemudian, kau mengalihkan pandanganmu, lalu berbalik menatapku. Masih dengan senyum yang sama. Senyum kecil yang bisa membuat orang-orang di seluruh dunia berbalik pandang ke arahmu. Kau terlihat sangat tenang, dan bahagia di balik balutan kemeja serta celana bahan sederhana itu.
Air mataku tanpa sadar mengalir. Jantungku berdegup kencang karena suatu alasan. Bibirku gemetar, diikuti oleh seluruh tubuhku yang mulai bergerak tak terkendali. Apakah ini nyata?
Aku kemudian kembali terduduk, kehilangan seluruh tenagaku untuk kembali berdiri. Kulihat kau yang berjongkok di sebelahku, lalu menggelengkan kepala. Menyuruhku agar tidak lagi menangis.
Namun aku tak bisa.
Ketika kembali kuingat tentang bulan purnama terakhir yang kita lihat. Tentang aku yang tiba-tiba mengalami serangan jantung serta kau yang tertabrak mobil saat berusaha membawaku ke rumah sakit. Aku merasa bahwa aku adalah orang yang paling tidak berguna.
Saat aku membuka mata, sosokmu berada disisiku. Tersenyum, tanpa kata. Sekilas kau hendak menggenggam tanganku, namun akhirnya kau hanya duduk di sampingku dengan senyummu yang selalu menjadi favoritku itu.
Aku bertanya siapa yang berbaik hati menyumbangkan jantungnya untukku pada ibuku. Aku ingin memberikan sesuatu yang baik pada keluarganya yang dengan ikhlas merelakan jantungnya berdetak kembali di tubuhku.
Ibuku kemudian menangis, terlihat seperti kehilangan anak keduanya. Saat itu pula aku mengerti, lalu mulai ikut menangis sambil menatap sosokmu yang perlahan keluar pintu ruang rawat.
Sekarang kau kembali lagi, masih dengan senyummu.
“Apa.. kenapa – “ Aku bahkan tak mampu lagi merangkai kata-kata. Tanganku mencengkeram erat jaket yang sedari tadi kupakai.
Kau hanya menggeleng, lalu tersenyum menenangkan. Daun-daun bergemerisik pelan, seakan menjelaskan apa yang ingin kau sampaikan.
Aku masih sibuk dengan tangisku, dan kau masih saja terus tersenyum sambil memintaku untuk menghapus air mataku. Seperti sebelumnya, sesaat kemudian aku mulai mengerti.
Kau kemudian menunjuk bulan purnama, dan menepuk sebelah kiri dadamu kecil. Kau kemudian menarik napas panjang sambil tersenyum. Matamu terpejam.
Air mata kembali mengalir, membentuk sungai kecil. Mulutku bungkam, tak dapat berbicara apapun.
Kita menikmati bulan purnama yang sama, begitu katamu. Kau memang tak ada lagi di sampingku, namun kau akan selalu bersamaku, di setiap tarikan napasku. Kau akan selalu bersamaku, di setiap aliran darahku. Kau selalu berdiam di hatiku. Dan kau juga bahagia melihatku, jelasmu.
Sesaat kemudian aku tak bisa lagi mengendalikan tangisku. Sosokmu perlahan menghilang, menyisakan memori tentang senyuman itu.
Aku kembali menatap bulan purnama yang masih bersinar terang di langit. Dalam hati aku menggemakan rasa terima kasih pada Tuhan, karena hari ini aku tahu sebuah fakta.
Fakta bahwa kau mencintaiku sepenuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar