Sabtu, 17 Agustus 2013

Bendera Kita



Tujuh belas Agustus. Sebuah momentum dimana insan Indonesia bergembira, dan merayakan hari bebasnya negara dari penjajahan. Sebuah momentum tentang proklamasi negara kita yang dikumandangkan secara tegas oleh bung Karno, mewakili suara seluruh Indonesia.

Tujuh belas Agustus seribu sembilan ratus empat puluh lima.

Dentum sepatu dari beberapa orang secara bersamaan. Sepasang dari sepatu-sepatu itu adalah milikku. Sepatu kets warna putih yang sedikit lecet karena terlalu sibuk dihari kemarin.

Kutatap laki-laki yang memunggungiku di depan. Ia adalah orang yang bertugas untuk mengerek bendera hari ini. Bersama dua temannya, ia akan menghadapi tiang, lalu mengibarkan sang bendera ke angkasa.

Sementara teman-temanku sibuk berbisik di belakang, aku menatap protokol dengan perasaan campur aduk. Kemarin sang protokol sudah memberi tahu kami bahwa giliran kami akan datang setelah pembacaan teks proklamasi.

“Pembacaan teks proklamasi.” Bibir sang protokol mengucapkan pendek tentang agenda selanjutya di upacara kami.

Deg. Deg.

Aku menarik napas dalam-dalam. Memejamkan mata sejenak, sambil terkadang mendengarkan ocehan teman-teman. Sesaat kemudian, aku memperhatikan sang pengerek bendera dari belakang. Tangannya yang terkepal bergerak-gerak gelisah.

Aku menatap langit, lalu menarik napas panjang lagi. Ternyata bukan hanya aku yang tegang.

Jujur, ini memang bukan kali pertama aku menjadi salah satu anggota paskibra di sekolah. Di sekolah menengah pertama, aku pernah melakukannya.

Namun ada beberapa faktor mengapa aku berhak tegang.

Pertama. Ini adalah upacara pertamaku sebagai paskibra di SMA. Tempat baru, suasana baru, dan orang-orang baru. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana reaksi mereka ketika kita melakukan sebuah kesalahan kecil.

Kedua. Anggota baru. Itu berarti kita harus menyamakan napas dengan anggota yang lain. Menjadi satu jiwa, satu irama untuk upacara bendera ini. Tapi kuanggap ini tidak terlalu merepotkan.

Ketiga. Ini acara besar.

“Pengibaran sang merah putih.”

“Ayo, siap,” Laki-laki di hadapanku melirik ke barisan belakang. Sebagai orang paling senior dipaskibra, aku tak heran jika ia mengingatkan kami. “Langkahnya pelan aja. Santai.” komandonya kemudian.

Aku membuang napas, lalu menariknya kembali. Tuhan begitu baik memberikan oksigen secara gratis. Jika tidak, mungkin aku harus membayar hanya untuk bernapas.

“Luruskan.”

Barisan paling depan mulai merentangkan sebelah tangannya. Sementara baris paling kanan melencangkan tangannya ke depan.

Sepatu kami mulai menghentak lapangan. Aku melirik bendera yang dipegang oleh laki-laki di barisan paling depan. Entah apa yang terjadi, pokoknya bendera ini harus sampai ke tiang, dan berkibar. Sampai seterusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar