Jumat, 26 April 2013

Talk From Flower, To Your Beautiful Heart (The Ending)


Antonio menekan bel rumah yang terlihat seperti istana itu. Sesaat kemudian, seorang maid berseragam hitam-putih datang, lalu membukakan pagar. Dengan wajah yang ditekuk, Antonio masuk. Suasana hatinya cukup buruk karena nona Versailles itu. Awas saja kalau dia sampai macam-macam.

Maid berseragam itu mengantarkan Antonio ke depan sebuah kamar yang terletak di lantai dua. Dia membukakan pintu kamar. Dari dalam kamar, terlihat seorang gadis yang setengah tertidur di atas kasur berselimut putih.

“Maaf. Bisakah kau atau rekanmu menemaniku untuk masuk ke kamar? Aku tidak ingin sendirian di sini.” kata Antonio sesaat sebelum maid itu berlalu. Maid itu hanya mengangguk singkat, lalu mengekori Antonio masuk ke dalam kamar Corinne.

Ketika masuk ke kamar, bau parfum begitu menyeruak. Harum. Tapi terlampau harum. Bahkan harum itu sampai menyesakkan paru-paru Antonio. Diperparah lagi dengan jendela yang tidak terbuka.

“Bisakah kau bukakan jendelanya? Terlalu sesak disini.” Katanya sambil berbisik pada maid itu. Maid itu menggeleng. Antonio mengangkat alisnya.

“Maaf Tuan, saya tidak bisa. Nona Corinne tidak pernah mau membuka jendelanya. Kami yang membuka jendelanya bisa-bisa dimarahi olehnya.” Jelas maid separuh baya itu. Antonio melipat tangannya, lalu mengamati Corinne yang masih tidur. Dasar gadis aneh, pikirnya.

Tapi Antonio sudah terlalu sesak sekarang. Napasnya sudah tidak tahan lagi. Dia berjalan menuju jendela itu, dan membukanya. Semilir angin senja menerpa kulitnya. Ini baru segar.

“Siapa yang membuka jendela? Tolong tutup jendelanya! Aku sudah bilang aku tak ingin ada yang membuka jendela itu. Aku kedinginan..” terdengar protes dari seorang perempuan. Pasti itu Corinne.

Antonio menoleh, lalu cepat-cepat menutup jendela itu. Dia berjalan ke arah Corinne yang ternyata sudah membuka matanya. Dia menatap sengit maid paruh-baya yang mengantar Antonio.

“Pasti kau yang membukanya, ya?!” Katanya setengah berteriak. Antonio menggelengkan kepala. Sebegitu sibuk marah, sampai tidak memperhatikan ada tamu disini. Maid itu menggelengkan kepala dengan wajah takut.

“Aku yang membukanya.” Jelas Antonio. Tangannya ia letakkan di saku. Sungguh, penampilan luar gadis ini sangat menipu.

“Ah, Antonio.” Gumam gadis itu pelan. Wajahnya memerah. Pasti dia malu karena satu sifat buruknya terlihat oleh Antonio. Maid paruh-baya itu menghela napas lega.

Antonio mengambil kursi, lalu duduk di sebelah kasur Corinne. Dia menyentuh lengan Corinne. Sedikit panas. “Kau masih panas. Istirahatlah lagi.” Ucapnya singkat. Sebenarnya dia ingin menasihati nona Versailles ini agar tidak bertindak seenaknya, tapi Antonio masih punya hati. Menurut ilmu yang diajarkan, orang sakit itu butuh support, bukannya makian.

Antonio hendak berdiri ketika tiba-tiba Corinne menarik tangannya. “Duduklah lagi. Ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Katanya. Wajahnya terlihat serius. Antonio hanya diam, lalu menuruti perkataan gadis ini. Ada apa sebenarnya?

“Tolong buatkan secangkir minuman untuknya.” Perintah Corinne pada maid paruh-baya itu. Maid itu melirik Antonio sejenak, lalu mengangguk dan berlalu. Bagus. Sekarang tidak ada lagi orang yang bisa ‘melindungi’ Antonio dari ocehan gadis ini.

“Antonio. Aku.. Sejak pertama kita menghabiskan waktu, aku merasa nyaman denganmu. Aku.. Entahlah. Ada banyak perasaan yang tidak bisa kujelaskan. Aku rasa aku mulai menyukaimu.” Jelas Corinne sambil memegang kedua tangan Antonio. Kemana harga diri gadis ini?

“Aku tahu kau pasti mempertanyakan harga diriku. Tapi aku harus mengatakannya. Aku sudah tidak bisa menahannya untuk diriku sendiri.” Cerita Corinne. Wajahnya makin merona merah. Antonio hanya menatap gadis itu datar. Tidak. Tidak bisa.

“Jadi.. Bagaimana?” Tanya Corinne. Mungkin gadis ini mengharapkan ungkapan perasaan yang sama dari Antonio, tapi ada sesuatu yang menghalangi Antonio untuk membalas perasaan gadis itu. Ingatannya mulai berpijak pada gadis lily. Gadis yang bahkan ia sendiri tak tahu namanya.

“Maaf,” Kata Antonio sambil melepaskan tangan Corinne. Dia merapatkan jas hitamnya, lalu berdiri. “Jangan lupa obatmu. Lakukan seperti apa yang dokter sarankan. Dengan begitu kau akan sembuh.” Lanjutnya. Dia pun berlalu.

Corinne menatap sosok Antonio yang sudah mulai menjauh. Setelah itu, maid paruh-baya itu kembali datar. Dia terlihat kebingungan di ambang pintu, lalu masuk dan bertanya, “Tuan sudah pulang, Nona? Cepat sekali.” Celetuknya. Corinne hanya mengangguk lemah.

Bagi Corinne, Antonio adalah cinta pertamanya. Tapi Antonio sadar betul bahwa Corinne bukanlah orang yang tepat untuk mengisi sebuah ruangan bernama ‘cinta’ di hatinya. Saat tiba di bawah, Antonio menatap jendela kamar Corinne yang tadi sudah ditutupnya. Mungkin hatinya sama seperti jendela itu. Masih tertutup. Bahkan jika ada orang yang memaksa untuk membukanya, dia pasti akan berteriak – sama seperti Corinne – karena itu sama sekali bukan kehendaknya.

Harap demi harap mulai muncul. Antonio tahu, dia harus mulai mencoba. Jika tidak, dia akan terus memberikan sebuah harapan palsu pada Corinne. Dia harus memastikan perasaannya pada gadis lily itu. Harus.

Mungkin, yang Antonio butuhkan sekarang hanyalah lebih banyak waktu. Dan.. Keberanian.

***
Antonio mungkin sudah gila karena masih terus diambang ketidakpastian yang bodoh seperti ini. Bagi orang normal, pasti mereka sudah berpikir: untuk apa ragu-ragu? Toh, jelas-jelas ada perempuan cantik seperti Corinne di depannya.

Antonio mungkin sudah gila.

Tapi Antonio tak mau berpikiran lebih jauh lagi tentang masalah tunggu-menunggu. Dia tak mau lagi digerecoki perasaannya. Tak ada siapapun yang boleh mengungkit masalah itu sekarang, karena intinya dia sedang sibuk.

Sibuk dalam arti sebenarnya.

Berbagai macam desain bangunan terhampar di depannya. Perusahaan keluarganya akan memulai sebuah mega-proyek pembangunan sebuah mall. Desainnya tergantung oleh kontraktor – dalam hal ini perusahaan tempat Antonio bekerja.

Desain apa yang harus ia pilih? Futuristik? Atau modern? Atau semi-klasik?

Otaknya terus menerus berpikir ketika tiba-tiba pintu ruangannya di ketuk.

“Maaf, bos. Kau berkata akan memerlukan sebuah konsultan, bukan? Kami sudah menemukannya.” ucap seorang pria berkulit gelap yang biasa ia panggil Blake.

Antonio hanya mengangguk. Sesaat kemudian dia membelalakkan mata tidak percaya.

***
“Bagaimana kau bisa ada disini? Kapan kau datang?” tanya Antonio pada perempuan bersilletto warna hitam di depannya.

Mata hijau perempuan itu mengedip. “Kenapa kau bertanya seperti itu pada kakakmu sendiri? Lagipula aku disini, kan untuk membantumu.”

“Tapi, Claire. Kau seharusnya mengatakan dulu padaku,” Antonio mendengus kesal. “Apalagi kau yang akan menjadi konsultanku!” Dia memekik frustasi sejenak. Bukannya dia tidak senang dengan kehadiran kakaknya, tapi kau tahu semua orang butuh tempat privasi. Kantor, adalah tempat privasi bagi Antonio. Menjadi tempat pertama dia bisa memekik frustasi, setelah rumahnya digerecoki oleh seorang perempuan bernama Corinne. Dan, sekarang? Kakaknya yang dari Milan datang pula untuk menggerecokinya.

“Kau kira aku juga ingin berada disini? Lebih baik aku berada di mal, lalu menemukan beberapa coat yang bagus disana! Ibu yang memintaku,” Claire memainkan rambutnya. “Kebetulan aku berada disini, menghadiri sebuah undangan. Lagipula, kau kan jadi tidak perlu membayar seorang konsultan!”

Antonio menghela napas panjang. “Hei. Apakah bunga Carnation kuning di mantelmu itu adalah sebuah aksen?” tanya Antonio basa-basi sambil menunjuk ke bagian kerah mantel.

Claire menoleh ke arah yang ditunjuk Antonio. “Oh. Iya. Ini adalah aksen. Ini gaya Milan, kau tahu!”

***
Mata Elle berkedip-kedip. Oh, ternyata dia tertidur di tokonya lagi.

Matanya berputar, lalu mengamati matahari yang baru saja menyembulkan kepalanya di ufuk timur. Dia merasa deja vu.

Jantungnya tiba-tiba berdetak sangat kencang. Detak. Dentum.

Dia seperti kenal suasana ini. Dia yang terduduk di sini, lalu tertidur. Serta matahari dan burung-burung kecil yang sedang berkicau.

Bayangan laki-laki misterius itu kembali muncul. Sungguh aneh.

***
Antonio benar-benar sangat gemas pada dirinya sendiri. Bayangan nona penjual bunga yang manis itu, dan Corinne. Semuanya berputar begitu saja di kepalanya.

Sebenarnya, apa lebihnya seseorang yang tidak mengucapkan kata lebih dari ‘Mau pesan apa, Tuan?’ dibanding orang yang sudah berkencan dengannya selama berkali-kali? Ini sungguh aneh.

Bahkan Antonio baru menyadari. Bertemu saja dia hanya satu kali. Mengamati saja yang berkali-kali. Coba ia ingat.. berapa lama dia berbicara dengan gadis itu? 60 detik?

Ah, sungguh Antonio frustasi sekarang.

Dia menatap foto gadis itu, lalu mempunyai ide. Dia akan menulis surat lagi, lalu bertanya pada gadis bunga ini. Sihir apa yang sudah ia lakukan?

Tapi, sebelum dia sempat menulis, sesuatu keributan terjadi di rumahnya.

“Antonio!” pekik seseorang dari bawah. Antonio mengenal suara itu. Kakaknya.

Dia segera berlari lalu sesaat kemudian mendapati kakaknya sedang diringkus oleh polisi.

***
“Akhirnya pelakunya tertangkap,” Charlotte bercerita kepada Elle yang sedang mengaduk teh. Elle hanya mengangkat alis. Secepat itu? “Ternyata dia Claire. Mantan kekasih Gerald yang melanjutkan karirnya di Milan sebagai seorang fashion designer.”

“Lalu?” pancing Elle.

Charlotte menyesap tehnya, lalu mulai melanjutkan, “Dia kembali ke Amerika, bertanya kepada teman satu apartemen Gerald, lalu mendapati bahwa Gerald sudah memiliki kekasih yang baru,” Charlotte menelan ludah, “Aku. Gerald mengirimkan undangan pertunangan kami ke rumahnya. Dan dia, sangat marah.”

“Jadi karena itu ada bunga Carnation kuning di balkon.” ucap Elle pelan. Charlotte menatap Elle.

“Carnation kuning?”

“Itu berarti: kau mengecewakanku, temanku.” jelas Elle. Charlotte hanya manggut-manggut.

“Apakah kau akan menemaniku ke kantor polisi?” tanya Charlotte.

“Bukannya kau sudah menemui perempuan itu?”

“Belum. Polisi hanya menjelaskan motifnya lewat telepon tadi.”

Elle hanya mengangguk. Sesuatu mengetuk hatinya tiba-tiba.

***
Mereka berdua tiba di kantor polisi. Kantor polisi tak ubahnya sebuah gedung yang diselimuti aura buruk. Elle bergidik ketika masuk ke dalamnya.

Seorang polisi membimbing mereka ke sebuah ruangan. Katanya, ada seorang keluarga tersangka yang ingin meminta kejelasan.

Charlotte membuka pintu hitam yang cukup besar itu, dan sesaat kemudian Elle terkesiap. Laki-laki misterius itu ada di sana, duduk sambil menyilangkan kedua tangannya. Laki-laki itu juga tampak terkejut.

Charlotte menepuk pundak Elle. “Ayo.”

Laki-laki itu berdiri, lalu menjabat tangan mereka berdua. “Saya Antonio. Adik dari orang yang sedang kalian berusaha masukkan ke dalam penjara,” ucapnya sakartis. “Sebenarnya ada apa, Nona?”

Charlotte menggeleng-geleng pelan. “Duduklah dulu, Tuan.”

Sesaat kemudian, dengan runtut Charlotte menjelaskan semuanya. Mulai dari acara pertunangannya yang batal, vas yang jatuh, sampai kepala Gerald yang nyaris tak terselamatkan.

Antonio menatap Charlotte dengan tatapan tidak percaya sejenak, lalu menundukkan kepalanya. “Saya.. saya mewakili keluarga mohon maaf. Ini sangat memalukan.” ucapnya. Charlotte hanya tersenyum kecut.

Sesaat kemudian, mata Antonio dan Elle bertemu.

***
“Maaf, Nona!” Elle menoleh. Antonio berlari kecil ke arahnya.

“Ya?” tanya Elle dengan nada yang aneh. Bahkan suaranya sendiri terasa aneh sekarang.

Antonio hanya tersenyum, lalu mengulurkan tangan. “Kita belum berkenalan.” ucapnya.

“Saya Elle.” Elle tersenyum tipis sejenak, lalu kembali menunggu laki-laki itu berbicara.

“Nona. Mungkin akan terdengar aneh jika saya mengatakan sesuatu di.. sini,” ucap Antonio sambil menatap tempat parkir. “Bisakah kita bertemu esok hari di tokomu? Saya ingin mengatakan sesuatu. Sebentar saja.”

Elle menggigit bibir. Lalu sesaat kemudian, ia mengangguk.

***
“Saya merasa aneh. Pernahkah Nona mendapati diri sedang jatuh cinta pada seseorang yang bahkan belum pernah Nona kenal lebih jauh sebelumnya?” Elle terdiam. Sesuatu kembali membuat jantungnya berdegup kencang.

Dia memperhatikan Antonio. Lalu tiba-tiba merasa deja vu lagi. “Iya. Mungkin,” jawabnya. “Kenapa Anda tiba-tiba bertanya seperti itu?”

Antonio mengambil bunga lili putih, lalu bertanya, “Bunga ini, berapa harganya?” tanya Antonio.

“Hanya 2 euro.”

“Kalau begitu aku beli ini,” Sesaat kemudian dia menjulurkan uang, dan memberikan bunga itu pada Elle. “Ini untukmu,”

Elle hanya terdiam, lalu mendapati sekujur tubuhnya merasa sangat hangat.

“Kau bertanya padaku, kenapa aku bertanya seperti itu?” Antonio terlihat seperti berbicara sendiri. “Percayakah kau kalau aku sedang jatuh cinta padamu?” Antonio menatap mata Elle lekat-lekat.

“Aku tahu. Aku bahkan belum mengenalmu lebih dari 60 detik. Atau mungkin beberapa menit. Tapi aku sendiri sadar ketika kau selalu mengganggu semua hal yang kulakukan. Kau selalu muncul di pikiranku,” cerita Antonio. “Dan ketika aku bertemu denganmu kemarin, aku tahu aku harus melakukan sesuatu.”

“Kau.. Kau pikir hanya kau yang merasakan seperti itu?” tanya Elle. “Aku.. Aku bahkan merasa sangat terganggu dengan semua perasaan deja vu yang kurasakan. Aku seperti pernah mengenalmu, pernah melihatmu, dan pernah bertemu denganmu. Ini aneh.”

Sesaat kemudian mereka saling bertukar pandang, lalu tertawa. Akhirnya semua perasaan yang selama ini mengganggu perlahan-lahan menghilang, seiring dengan terjawabnya kata hati mereka.

Mungkin bukan tulip merah yang dipilih oleh Antonio, tapi lili putih itu sudah cukup. Bukan cinta yang menggebu, tapi cinta yang tulus. Seputih warna lili yang diberikannya.

“Jadi.. Kau.. ACW?” tanya Elle. Antonio mengangguk mantap. Ternyata orang yang sama. Orang yang sama yang peduli padanya dan menawarkan perlindungan.

***
Finally, my last part! Setelah digerecokin sama mbak Je, dan mbak Je. Akhirnya saya berniat lagi buat segera nyelesein cerita ini. Kasian digantung.

Biar lebih dan agak mirip-mirip sama di buku-buku, saya mau terima kasih ke keluarga saya, laptop, mbak Je dan mbak Je karena udah bikin saya punya tanggung jawab untuk melunasi hutang saya tentang cerita bersarung (baca: bersambung) ini.

Terima kasih juga buat lagunya Kim Sung Gyu – 60 Seconds. Akhirnya saya bisa tahu ending nya mau dibikin kayak gimana. Inspirasi kalimatnya. Makasih banget buat yang nyiptain, saya jadi terbantu.

Terakhir, dan mungkin sedikit agak lebay mengingat ini bukan proyek yang gede-gede banget. Buat para pembaca, atau pengunjung. Entah kamu langsung menutup tabnya atau gimana, yang penting makasih aja, deh.

Oke. Jadi mega proyek ini selesai jugaa! *tepuk tangan*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar