Kamis, 11 Juni 2015

unreasonable



PERASAAN yang familiar.

Aku seperti sedang di hadapkan pada dua kotak besar sekarang: satu berisikan cokelat yang manis di awal namun pahit di akhir, dan yang satu berisikan mawar yang indah namun berduri. Keduanya sama-sama tidak membantu karena di belakang sudah ada orang lain yang menginginkannya pula.

Aku sepertinya sudah bisa merelakan batangan cokelatku untuk orang lain---dia manis, baik hati dan ringan tangan. Pun pula polos. Samar-samar dapat kulihat label kekuningan bertuliskan aku bahagia di balik cokelat yang berada dalam genggamannya.

Selama cokelat itu membawa kebahagiaan untuk temanku itu, kupikir tidak masalah meski aku sudah menabung selama bertahun-tahun untuk mendapatkannya. Lagipula, ia dapat menjaganya dengan baik dengan meletakkannya di freezer supaya tidak mencair. Cokelatku akan baik-baik saja---meski tidak berada dalam jangkauanku.

Pilihan yang lain adalah mawar. Ada orang teramat anggun yang mengantre di belakangku. Berbisik-bisik perlahan ke dekat telingaku. Memintaku agar memberikan mawar itu untuk dapat ia tanam di tamannya.

Ah. Tapi aku agak tidak suka dengan si anggun ini. Mawar akan bernasib agak baik jika aku yang merawatnya. Aku punya pupuk, aku punya pot---yang meski kecil cukuplah untuk ia hidup.

Namun tanpa menunggu persetujuanku, si anggun melangkah ke arah mawar yang merekah makin indah ketika melihat sosoknya. Aku menggigit-gigit bibirku. Keduanya kombinasi yang sempurna. Satu anggun, sedang satu cantik luar biasa.

Apalah aku dibandingkan mereka.

Setelah akhirnya gagal membeli sesuatu di toko itu, aku terdiam agak lama. Dulu aku ingat pemilik toko sempat berkata padaku bahwa ia hanya mengizinkan orang berhati murni dan tulus untuk dapat menyentuh dan membawanya pulang. Aku sudah punya hati yang murni dan tulus. Tapi kurasa mungkin tidak cukup. Uangku kurang banyak.

"Kau bisa kembali lain kali. Aku masih menyisakan separuh batang untukmu. Mungkin bisa kau ambil." Begitu ucap sang pemilik.

"Lalu bagaimana jika aku tidak mendapatkannya sedikitpun?" tanyaku perlahan,

Ia hanya tersenyum lalu menyahut, "Maka kau harus mencari cokelat yang lain---cokelat putih? Atau pasta stroberi? Tidak masalah asal perutmu kenyang."

Di saat uangku cukup, aku malah merelakan cokelat itu untuk orang lain. Menunggu sang pemilik toko mengeluarkan separuh batang yang lain.

Sedangkan mawar, aku sebenarnya tidak terlalu membutuhkannya secara harafiah. Ia terlihat indah, menghilangkan stres yang melekat di kepalaku. Jika melihatnya, mendadak semua jalan keluar untuk masalahku terbuka lebar. Aromanya harum, memabukkan.

Kata sang pemilik toko, aku hanya bisa mendapatkan mawar jika aku menyiapkan tempat yang nyaman untuknya. Aku sudah ada tempat yang nyaman, tapi akhirnya kalah cepat oleh si anggun.

Ah.

"Genggam tanganku, dan berharaplah bersamaku, Nak," Sang pemilik toko kemudian menghampiriku dengan senyum hangatnya. Kumis putihnya bergerak-gerak. Tangannya terulur. Aku menyambutnya, dan kurasakan keriput pada telapaknya. 

"Aku melihatmu mencoba untuk membeli beberapa kotak barang di sini, namun kau belum menemukannya. Semoga lain kali kau dapat membelinya dan tersenyum." Aku mengangguk perlahan.

Semoga.




A/N: ngomong opo toh iki. pada paham nggak? :))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar