Siluet.
Hujan. Dia.
Sebuah rasa
peduli seorang teman telah membawanya untuk ikut menunggu hujan bersamaku. Rasa
peduli yang bahkan teman-teman lain mungkin tak pernah sekalipun memikirkannya.
Semuanya
terasa begitu aneh, bahkan ketika hati harus berkata jujur bahwa ini begitu..
tak terdefinisi.
Dengan rasa
penuh keyakinan, biasanya aku akan berkata, “Aku enggak suka lagi sama dia,
kok. Semuanya udah kayak biasanya sekarang.”
Tapi
semuanya terasa beku ketika aku hanya berdua dengan dia. Bahkan ketika ini
ditulis, aku masih belum bisa mendeskripsikan, perasaan apa itu.
“Hujannya di
terobos aja, tah?” tanyanya. Aku terdiam sejenak, lalu mengangguk ragu.
Semuanya
bahkan terasa semakin tidak karuan ketika dia – kita – menyeberang jalan. Dia
yang menyeberangkanku. Terdengar terlalu berlebihankah jika aku benar-benar
merasa senang?
Dari dulu,
aku tidak pernah bisa menyeberang sendiri. Pasti ada saja yang harus
menyeberangkanku. Ada dua teman yang berhasil menyeberangkanku sejauh ini.
Salah seorang teman cewekku, yang dengan berani saat jalanan macet menyeberang
lalu.. dia.
Mungkin aku
merasa senang karena menganggap orang yang bisa menyeberang itu hebat.
Atau mungkin
aku merasa senang karena aku akhirnya dianggap sebagai seorang perempuan yang
harus dilindungi. Merasa ada punggung yang selalu melindungiku kemana aku
pergi, dalam hal ini ke seberang jalan.
Tapi, hei.
Bukankah itu yang semua perempuan perlukan? Maksudku.. perlindungan?
Walaupun
definisi romantis adalah menyeberang jalan sambil berpegang tangan, hal
sesederhana seperti ini saja sudah membuatku kepikiran setengah mati.
Sambil
menyetop, dia berkata, “Ayo, Nan.”
Dan.. yah.
Sesederhana itu memang.
Apa aku
terdengar seperti seseorang yang kurang perlindungan? Ah, tidak. Maksudku, kau
pasti akan tahu perbedaan perlindungan orang tua dan perlindungan dari
seseorang yang dulunya kau harapkan,
dan pernah kau titipkan hatimu untuknya.
Sesederhana
itu, seseorang dapat membuat memoriku terputar kembali. Sesederhana itu,
seseorang dapat membuatku nyaman dan senang secara tiba-tiba. Dan sesederhana
itu pula, dia membuatku kembali berpikir tentang ‘kapasitas residu’ di hatiku.
Ternyata
memang benar apa kata orang, sekeras apapun kau berusaha menghilangkan
perasaanmu, kau akan menyisakan setidaknya beberapa persen untuk dia.
Itu, karena
kau sesungguhnya masih berharap padanya.
Aku menatap
siluet punggungnya sekilas, dan sejenak mengiyakan perkataan hatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar