Dia mungkin
adalah orang yang sejenak berhasil kulupakan kehadirannya. Berhasil kulupakan
tentang semua detil tentang dirinya. Berhasil kulupakan tentang matanya yang
menyipit ketika seulas senyum hadir di wajahnya.
Juga.. yang
berhasil pula kulupakan tentang tempat yang pernah ia duduki dihatiku.
Bukan
rahasia lagi kalau aku adalah salah satu orang yang paling sering – juga paling
mudah – jatuh cinta. Ujung-ujungnya sama: bertepuk sebelah tangan, patah hati,
lalu seiring dengan waktu, aku jatuh cinta lagi.
Terdengar
seperti lingkaran setan bagimu? Untungnya bagiku tidak. Jujur, dari awal memang
sering terlintas rasa tidak percaya seperti: hei, kenapa dia bisa dapat pacar sedangkan kau tidak? Lalu: kenapa kau selalu patah hati, huh?
Tapi.. yah.
Seperti yang semua orang tahu, apa yang bisa kulakukan? Berteriak pada setiap
taksiranku bahwa aku cinta setengah mati pada mereka? Cara itu akan kulakukan,
kalau aku ingin dicap menjadi seorang maniak. Tapi sekarang tidak. Terima
kasih.
Dia bukan
dia-dia yang kuceritakan sebelumnya. Dia orang yang sedikit.. berbeda. Wajahnya
tidak terlalu menarik, selera rambutnya tidak cepak, dan dia aneh.
Mungkin
sedikit kejam ketika aku mendeskripsikannya seperti itu, tapi itulah yang
kulihat dari segi obyektif. Dan, hei. Menjadi obyektif itu menjadi sedikit
susah ketika kau menyukai seseorang, bukan?
Entah
pengaruh bulanan atau apa, aku mulai menyadari sepertinya tempat yang dulunya ia duduki itu rupanya masih
tersisa sedikit. Mungkin karena kata orang, kau tak pernah bisa benar-benar mengisi tempat yang sudah
sengaja kau sisakan untuknya dihatimu. Mungkin masih ada sedikit. Bayangkan
saja kapasitas paru-parumu. Selalu saja ada udara yang tersisa di dalam
paru-parumu, walaupun kau sudah menghembuskan napas kuat-kuat.
Mungkin
karena kapasitas residu itulah kau bisa tetap hidup sampai sekarang.
Karena
pengaruh kondisi, kami berjalan berdua di koridor kemarin. Memakai pakaian
tradisional, hendak melaksanakan pentas. Mungkin degup itu tak lagi muncul,
tapi entah kenapa rasanya.. aneh. Kata teman curhat, mungkin itu hanya perasaan
canggung.
Tapi aku
tahu betul itu bukan canggung.
Masih selalu
kuingat ketika dia menawarkan rasa nyaman ketika aku berada di dekatnya. Tak
ada rasa degup, tapi aku suka berada
di dekatnya. Aku suka tertawa
bersamanya, suka berargumen bersamanya. Apa aku salah mengansumsikan itu
sebagai rasa ‘suka’? Bukankah sudah terlalu banyak kata suka saat aku
bersamanya?
Saat acara
sekolah, entah kenapa nyaris pada bagian yang aku suka, dia selalu sekelompok
denganku. Saat outing pun demikian.
Saat masuk outing pada malam hari,
kami sekelompok – lima orang – berjalan bersama menuju Kapel, untuk berdoa
malam. Sekolahku sekolah bernuansa Katolik, memang. Jadi aku harus
mengikutinya, walaupun aku bukan penganut agama Katolik.
Aku berjalan
keluar terlebih dahulu, lalu diikuti oleh dia. Entah apa yang mendorongku untuk
memanggil namanya.
“Hmm? Apa,
Nan?” Nada suaranya – ditelingaku – terdengar lembut. Mungkin itu hanya ilusi
atau aku yang terlalu percaya diri.
Aku hanya
diam, lalu kembali berjalan. “Umm.. Enggak jadi, deh.” jawabku. Tanpa kusadari,
dia kembali berjalan beriringan di sebelahku. Aura nyaman itu kembali muncul.
Dia
terkekeh. “Leh..” timpalnya. Aku hanya nyengir salah tingkah.
Bahkan
ketika ini semua kembali kubuka untuk kalian, semuanya mulai meluap. Dia yang
tidak terlalu neko-neko, dia yang aneh, dia yang punya sedikit jiwa player padahal.. yah, begitulah. Juga,
dia yang selalu menawarkan rasa nyaman.
Bahkan
sampai sekarang, rasa nyaman itu kerap muncul. Kemarin, hari ini.. Ketika aku
berada di dekatnya, sebuah bara panas menghantam hatiku, mengingatkanku kalau
perasaan ini masih ada, kalau.. yah, aku harus mulai mengendalikan diri
sendiri.
Karena dia
sudah tak sendiri lagi, mungkin?
Lalu, kalau
seperti itu jadinya, harus kusebut apa kapasitas residu yang ada di hatiku?
Kapasitas residu suka? Atau.. haruskah aku menyebutnya.. cinta?
Selanjutnya,
jika kapasitas yang entah-apa-namanya itu menjadi overload, dan mulai menyiksa diriku, apa yang harus kulakukan?
Haruskah aku melawan takdir?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar