Aku merasa
bahwa aku adalah cewek yang enggak tau malu.
Pemikiran
ini muncul ketika aku pulang sekolah. Hari ini enggak ada bimbel, jadi
pulangnya seharusnya lebih pagi. Tapi beberapa teman memanfaatkan momen enggak
ada bimbel ini sebagai ajang truth or
dare.
Dan.. apa
juga pajama party? Pesta tidur. Makes sense?
Tapi jaman
sekarang, udah jaman emansipasi. Cowok-cowok juga pada bisa main dipermainan
ini. Dan..enggak asiknya mereka selalu milih dare. Katanya kalau milih truth
enggak cowok. Oke. Mereka mungkin lupa kalo ini bukan ajang buat adu otot.
Back to my story.
Aku adalah
salah satu orang yang ikut dalam permainan yang dimainin hampir.. umm..
sepersekian dari anak kelas. Nungguin giliran milih truth or dare rasanya lama banget. Mataku ngantuk setengah mati dan
setengah berharap kalau aku bakalan cepetan dipilih biar aku bisa cepet pulang.
Akhirnya aku
enggak kepilih.. Tapi aku tetep disuruh milih antara truth or dare. Salah seorang temenku nyadar kalau aku mulai bosen
dan enggak sabar nunggu giliran, jadi secara berpihak dia memilih aku.
“Truth or dare?” tanyanya.
Dalem otak
udah kepeta kalau aku bakalan milih truth.
Secara itu siang dan aku enggak punya niat sama sekali buat milih dare.
“Truth.”
Temen-temen
langsung diem seketika. Bingung mau nanyain apa sama aku yang – mungkin dimata
mereka – plain. Hambar. Enggak ada
yang menarik buat ditanyain.
“Umm.. Gini.
Apa kamu masih ada perasaan sama ‘ehem’? Seberapa besar?” Akhirnya salah satu
temen yang paling seneng buat aku nyinyirin di twitter nanya. Entah apa yang
menginspirasi dia buat bertanya pertanyaan paling ajaib seperti itu.
Aku diem..
Terus merhatiin temen-temen yang mulai nanya pake body language. “Siapa si ‘ehem’ itu?”
Sayangnya..
sebagian besar temen udah tau tentang siapa dia. Bukan kejutan lagi. Mereka
buat gestur yang menunjukkan inisial depan dia, nanya-nanya tanpa suara kayak
ikan megap-megap. Ujung-ujungnya sama: mereka tau.
“Aku.. Mmm.
Mungkin kalian udah tau, lah ya siapa. Sama dia.. aku masih suka. Tapi udah
biasa.” jawabku. Sesaat kemudian aku nyadar. Kalau kata-kataku itu ambigu
banget. Memihak dua sisi yang sama.
Well.. Sudahkah
aku cerita kalau dia ada disana dan ngedengerin truth ku itu juga?
Dalem hati,
aku ngerasa menang karena udah berhasil bilang kalau aku masih suka dia. Tapi
dalam perjalanan pulang aku mulai ngerasa kalau aku setengah berbohong di
permainan truth or dare itu. Enggak
jujur sepenuhnya.
Dalam
perjalanan pulang.. Aku terus-menerus memikirkan tentang apa kiranya yang salah
dengan pengakuanku itu. Yang bener dalam jawabanku itu adalah, aku sudah biasa.
Biasa dengan
kehadirannya, biasa dengan tertawanya, biasa dengan cara ngomongnya.. Bahkan
biasa ketika ngeliat dia berdua - dengan pacarnya - dan saling mention
di twitter.
Apakah itu
mati rasa? Aku bertanya dalam hati.
Apa iya aku
masih suka sama dia sementara ngeliat matanya aja aku udah biasa?
Jawabannya
adalah mungkin iya, mungkin tidak.
Mungkin iya,
karena jantungku enggak pernah lagi loncat-loncat setiap ngedenger suaranya.
Mungkin iya, aku enggak suka lagi sama dia, karena enggak ada lagi perasaan
pengen liat dan ketemu dia setiap hari. Enggak ada lagi perasaan pengen ngeliat
dia ketawa atau ngelirik aku.. sekali aja.
Atau mungkin
tidak..
Karena
mungkin aku bukan mati rasa.. Tapi tahu diri karena aku mulai sadar, bahwa dia
sama sekali enggak pernah ngelirik aku, enggak pernah tersenyum buat aku,
enggak pernah nyimpan perasaan sedikitpun buat aku. Mungkin aku masih suka
dia.. Tapi rasa suka itu sebenarnya udah terkurung dalam-dalam di sebuah kotak
dalam hatiku yang aku sebut kenangan.
Apa aku
sedikit plin-plan?
Iya.
Akhirnya, ketika
seseorang memilih truth yang ia pikir
adalah kebenaran, terkadang sesungguhnya yang berbicara bukan hatinya, tapi
otaknya.
Otakku
mengkomando bahwa aku masih suka sama dia, tapi sesungguhnya hatiku berkata
lain. Hatiku sepertinya sudah menempatkan dia di sebuah ruangan berbeda.
Ruangan yang kukunci rapat-rapat saat ini, dan nanti akan kubuka saat aku
ingin. Hatiku menempatkan dia di sebuah ruangan, dimana masa-masa degupan
jantung itu masih terasa, dimana luka itu terasa sangat nyata, tapi bukan di
ruangan lain yang kusebut realita, kenyataan yang sebenarnya.
Sederhananya,
hatiku seperti menyimpan kumpulan foto yang sudah tua. Ditempatkan di tempat
yang aman, dan tidak akan terlalu sering dibuka.
Ketika aku
mulai menyadari bahwa sesungguhnya aku yang lebih lama memendam perasaan ini
dibanding pacarnya sendiri, terbersit sedikit perasaan enggak rela, dan merasa
bahwa ini semua tidak adil sama sekali.
Tapi ketika
mulai menyadari bahwa hatiku sudah berhasil melepaskan dia seutuhnya.. Aku
mulai sadar bahwa Tuhan itu memang adil, dan ini kemenanganku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar