Ada yang
membesar-besarkan masalah.. Ada yang mengecil-ngecilkan masalah dan akhirnya
masalah itu tertinggal tanpa penyelesaian.
Tapi ada
juga yang sampai ngejar-ngejar pemecahan masalahnya sampai kejer-kejer.
Pokoknya masalah harus selesai sekarang, atau enggak sama sekali. Mikirnya
pasti gitu.
Lalu ada
juga yang terlalu sering nengok ke belakang sampai enggak sadar bahwa ada yang
lebih baik di depan.
Juga ada
yang ujung-ujungnya cuma kelewat pasrah, dan ngebiarin semuanya selesai dengan
sendirinya. Tipe yang udah capek ngejar-ngejar pemecahan masalah, dan akhirnya
menjadi hambar serta anti-klimaks.
I don’t know what’s going on with my mind.
Seenggaknya
aku enggak perlu terlalu mellow ketika mulai menyadari bahwa semuanya itu
sedang bermain peran dalam drama kehidupan mereka.
Yah, mungkin
enggak perlu dijelasin terlalu detil juga, sih macam apa drama kehidupan mereka
itu. Kalau dibuat daftar, ya.. banyak.
Ketika aku
ngeliat dia – mantan-taksiran – pas pulang sekolah, perasaan mengasihani diri
sendiri kembali muncul. Otak mulai berandai-andai.
Coba dia enggak punya pacar..
Coba dia enggak kenal sama pacarnya
sekarang..
Coba
si pacarnya dia enggak cantik-cantik amat..
Ujung-ujungnya
sama: pasti aku masih punya kesempatan. Minimal enggak terlalu ngenes kayak
gini. Ya.. kayak gini. Berandai-andai, mengasihani diri sendiri, juga secara
enggak langsung membuat dosa karena melawan skenario Tuhan.
Masih inget
banget ketika aku mulai suka dan getol-getolnya rajin sms dia. Saat itu adalah
beberapa bulan sesudah dia putus sama pacar sebelumnya, dan aku mulai nyadar
kalau aku suka sama dia.
Setiap sore,
aku sms dia, pura-pura nanyain tentang tugas besok. Sekadar basa-basi walaupun
tanggapan dia pendek dan selalu diakhiri dengan “wkwkwk”.
But, yeah. Love is blind and numb, indeed.
Ketika kita
jatuh cinta, enggak ada rasa sakit hati, tuh. Enggak ada rasa tersinggung
karena tanggapannya yang enggak sesuai dengan harapan kita. Yang ada cuma rasa penasaran.
Kebanyakan,
lewat sms itu, keliatan banget kalau aku yang berusaha ngepanjang-panjangin
percakapan dengan bertanya berbagai macam hal. Mulai dari pertanyaan paling
basi seperti: “lagi ngapain?” sampe ngomongin temen satu kelompok.
Semuanya itu
masih terpeta jelas sampe sekarang. Aku tahu kalau dia juga enggak bakalan
inget hal sekecil itu. Karena semuanya udah tertutup.. termasuk hatinya, kan?
Sayangnya,
waktu aku lagi getol-getolnya berusaha buat sms dia, dia juga lagi
getol-getolnya nyoba pe-de-ka-te sama pacarnya sekarang. Dia sering banget
nanya-nanya lewat social media ke
gebetannya itu. Aku penasaran banget yang mana ceweknya.
Sampai
akhirnya aku dipertemukan sama ceweknya secara enggak langsung..
Di sebuah
kunjungan ke radio kita ketemu. Karena temenku kenal dia, dia nggodain tentang
mereka – mantan-taksiran dan ceweknya – yang waktu itu masih digantung
statusnya. Ngambang.
Aku senyum
sambil ikutan nggodain dia, walaupun hati rasanya udah ditusuk-tusuk sekaligus
dicambuk. Ternyata si mantan-taksiran enggak salah bikin nentuin pilihan.
Ya, setuju
dengan pilihan si mantan-taksiran memang terdengar agak kejam terhadap diri
sendiri.
Tapi
beneran, kalau dibandingin sama ceweknya, aku merasa sedikit rendah diri. Dia
lebih cantik, juga keliatan lebih perhatian sama penampilan dibanding aku yang
cuek. Ujung-ujungnya sama: mengasihani diri sendiri.
Sampe
akhirnya, mereka resmi jadian..
Lil bit show off on social media is a fine
thing for them.
Tahu
perasaanku saat itu? Cekat, cekit.. Rasanya kayak dilindes roda buldozer. Hati
rasanya berat.
But gladly, I can slowly move on from this
disease. Yap, perasaan itu hilang dan
akhirnya digantikan dengan perasaan mati rasa.
Sampai sekarang, hanya dia mantan-taksiran
yang kenangannya enggak pernah aku lupain sedikitpun. Seperti kata bu Flora,
hal yang terbaik dan hal yang terburuk itu akan selalu diinget.
Aku enggak
tahu, dia termasuk yang mana. Apakah dia yang terbaik karena sudah membuat
organ yang memompa darah – jantung – ku berdetak kencang saat ngeliat matanya?
Atau karena dia berhasil ngebuat aku enggak berani ngeliat matanya lama-lama?
Ataukah..
dia yang terburuk, karena telah menjatuh bangunkan hatiku?
One more confession if you read this: ketika temen-temen ngomongin betapa cocoknya
kalian berdua, ada sesuatu yang menohok. Tapi disisi lain aku setuju dengan
mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar