“Aku tahu kau akan memakai jaket itu
lagi, Dik,” Gumam Liana ketika mereka berada di garasi. Jim memandang jaket
hitam bergaris merah dibagian kerah yang dipakainya. “Memangnya ada yang salah
dengan ini?” Tanya Jim tak mengerti.
Liana berdecak heran. “Jimmy,
adikku. Kau sangat tidak modis. Pantas saja tidak ada perempuan yang mau dekat
denganmu,” Katanya. Hei, itu sakit.
Jim mengambil sepedanya, lalu mulai
keluar. “Asal kau tahu, Kak. Tanpa baju yang modis pun, semua perempuan sudah
jatuh hati padaku. Hampir setiap hari mereka mengerumuniku seperti serangga
yang mengerumuni madu, kau tahu. Orang keren, tak perlu lagi sentuhan modis.
Kami dilahirkan untuk diterima apa adanya,” Celoteh Jim panjang lebar sambil
menunjukkan seringai jahil pada kakaknya. Kakaknya hanya menggelengkan kepala.
“Ayo cepat, Kak!” Kata Jim lantang.
Di perjalanan, Jim berpikir hei, jawaban
tadi keren. Dia tidak menyangka bisa menjawab kakaknya dengan jawaban
se-cemerlang itu. Mungkin di berbakat menjadi presenter? Atau, pelawak? Mungkin
saja.
Tapi tanpa mereka semua ketahui,
pagi itu akan menjadi pagi yang tak terlupakan.
***
Liana dan Jim akhirnya sampai di
taman. Mereka memarkirkan sepeda mereka di sebuah lapangan parkir yang cukup
luas. Tak cukup sulit menemukan sepeda mereka yang begitu mencolok.
“Ah, sejuk sekali!” Kata Liana
setelah turun dari sepedanya. Matanya langsung menelusuri sekeliling taman.
Banyak bunga-bunga kecil beraneka warna yang bermekaran. Burung-burung gereja
bersiul dengan riang. Pohon-pohon yang tinggi menggoyangkan daunnya sesekali.
Di mata Liana, semua hal ini seperti sambutan kecil untuknya.
“Taman, kan memang selalu seperti
ini. Salah Kakak sendiri tidak mau keluar mulai dari kemari,” Kata Jim.
Liana berdecak kecil. “Oke, Dik. Kau
menang,” Kata Liana. Dia tidak ingin berdebat lebih jauh lagi dengan adiknya.
Tidak sekarang.
***
Mata Jim masih menatap kakaknya
dengan tatapan keheranan. Tidak biasanya kakaknya seperti itu. Mungkin, suasana
di taman ini yang membuatnya tenang dan terkendali seperti itu. Setiap hari
mengajak kakaknya kesini, mungkin bukan pilihan yang buruk.
Mata Jim kembali berputar
mengelilingi taman dalam keheningan. Matanya menangkap sesosok laki-laki muda
yang sedang duduk sambil membaca buku di atas sebuah kursi taman berwarna
putih. Jim mengerutkan alisnya. Sepertinya dia kenal laki-laki itu.
Coba kita tebak.. Andrew? Bukan.
Bimo? Bukan, bukan. Bimo sudah pindah ke luar kota beberapa tahun lalu. Kelvin?
Bukan juga. Jim bahkan tidak kenal siapa itu Kelvin. Siapa laki-laki itu?
Jim pelan-pelan kembali melirik
kakaknya. Kakaknya terlihat memperhatikan laki-laki itu sejenak. Dia terlihat..
Kaget? Malu? Entahlah, Jim tak bisa mengartikannya. Sedetik kemudian, Liana
mengalihkan pandangan, lalu wajahnya – entah bagaimana dan mengapa – memerah.
Hei.. Sebentar. Itu clue.
Coba kita tebak lagi.. Jim kembali
mengerutkan keningnya. Jika kakaknya menunjukkan reaksi seperti itu berarti..
Oh, Ken! Iya, Ken!
Jim kembali melirik kakaknya. Ide
jahil kembali terselip di benaknya.
***
Liana menepuk-nepuk pelan kepalanya.
Kacau. Super duper kacau. Kenapa Ken bisa ada di sini?! Itu mengerikan. Mengerikan
dengan kata ngeri di dalamnya. Liana harus bisa menahan jantungnya. Urgh.. Ini
mengganggu. Jantungnya selalu berdetak kencang dan dia harus menahannya. Sial.
Liana melirik Jim sejenak. Jangan
sampai kutil yang satu ini melihat Ken. Dia tahu rahasia Liana. Jangan sampai
juga dia memanggil Ken. Jangan pagi ini. Tolong jangan.
“Hei, Kak Ken!” Teriak Jim
tiba-tiba. Oh, dasar kutil dia memanggilnya. Astaga. Jangan menoleh, Ken. Jangan
menoleh, tolong.. Batin Liana meraung-raung. Liana menggigit bibir bawahnya
dengan gugup.
Tapi sialnya, Ken menoleh.
“Hei, Jim! Hei, Liana!” Teriak Ken
dengan lantang. Suaranya yang khas begitu menggema.
Liana melambaikan tangan pada Ken.
Laki-laki itu tersenyum padanya. Ya ampun, dengan senyum seperti itu, dia bisa
membangkitkan semangat orang yang melihatnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar