Sekitar satu-dua minggu yang lalu,
aku dan temen-temenku pergi ke sebuah mall
di Surabaya untuk nonton film Soegija. Film yang mengisahkan tentang
perjuangan bangsa Indonesia di masa-masa penjajahan. Filmnya bagus, lho. Boleh,
deh ditonton untuk ngisi liburan. (Itupun kalau masih ada di bioskop, ya.. Aku
enggak tahu soalnya. Belakangan ini, orang tua saya tidak lagi memasok koran
karena enggak ada yang baca.)
Tapi, bukan itu yang mau saya bahas.
Di hari itu, aku dan temen-temen
seantero sekolah (except kelas-kelas
yang udah lulus) naik bis bareng ke mall tempat
kita bakal nonton film itu. Nah, sialnya, satu bis dicampur. Kelas A (baik yang
junior, maupun senior) di bis 5, kelas B (sama kayak kelas A, ceritanya) di bis
4, kelas C di bis 3, kelas D di bis 2, dan kelas saya yang kece, kelas E di bis
1 bersama kepala sekolah.
Sialnya lagi, too many couples in my bus. *uhuk uhuk* #nasib
Oke, itu berlebihan. Setahu saya, di
bis 5 yang in relationship satu sama
lain cuma 2. Tapi buat jomblo seperti saya, tetep aja itu masalah.
Tapi, bukan itu yang mau saya bahas.
Di dalem bis, terputar lagu-lagu random dari mini speaker yang temenku bawa. Dari lagunya Simple Plan, Kotak,
bahkan lagu dangdut koplo pun juga ada. Bener-bener random.
Dari perjalanan pergi, sampe
perjalanan pulang. Tetep aja si speaker itu
bunyi. Temen-temen yang ada di sekitarnya juga ikutan nyanyi dengan berhasrat.
Entah apa yang merasuki mereka hari itu.
Dan speaker itu memutar sebuah lagu yang mengingatkan saya akan
sesuatu. Lagunya The Changcuters. Syairnya “Dudung dan Maman selalu bersama...”
Ya, untuk sebagian orang lagu itu emang kurang berarti, tapi bagi saya itu
berarti.
You
know what?
Sebenarnya, lagu itu ngingetin aku
akan kenangan waktu masih jadi kelas 7 dulu. Aku punya seorang teman baru, yang
tak berapa lama, jadi sahabat. Yeah, I
thought she was my bestfriend. Dulu, kita sempet sepakat buat memanggil
satu sama lain dengan sebutan ‘Dudung’ dan ‘Maman’ seperti yang ada di lagunya
The Changcuters itu. Berharap, persahabatan kita bisa awet kayak Dudung dan
Maman.
Tapi, badai memang enggak bisa
dicegah. Even, kita udah berusaha
keras buat tetap bertahan. Dia mulai bosan. Bosan dengan saya. Memang
kedengerannya kayak orang pacaran banget. Tapi ya, dia bosan dengan saya.
Umpamakan saja saya dan dia pacaran.
Umm.. Jadikan dia laki-laki.
Akhirnya, dia seperti ‘memutus’
hubungan dengan saya. Ya, bukan putus seperti yang orang pacaran biasa lakukan,
sih. Tapi putus yang ini, aku yakin lebih menyakitkan. Kalau orang pacaran,
kita hanya menyiksa orang dengan verbal “Kita putus.” Tapi kalau saya, dengan
tingkah laku. Seperti yang orang sering bilang, kata-kata menegaskan tingkah
laku, dan tingkah laku menjelaskan kata-kata. Saya juga enggak ngerti apa
hubungannya kalimat ini dengan yang kita udah bahas di atas.
Akhirnya, layaknya orang pacaran,
dia udah move on. Udah nemu teman
baru.
Aku emang sakit pada awalnya, tapi
lama-kelamaan saya udah terbiasa. Kalau dulu saya ingin dia selalu mengabari
saya, bicara dengan saya selama sehari, sekarang udah enggak. Rasanya lepas
aja. Seperti teman yang lain. Mau bicara, iya. Gak mau bicara juga enggak papa.
Tapi karena speaker yang random itu,
kenangan itu muncul lagi. Aku menatap dia dengan batin yang bertanya-tanya.
Masihkah dia ingat?
Jujur, saat itu aku mikir enggak
bakal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar