Banyak orang
yang bilang, kalau cinta itu adalah sebuah proses. Ada saat-saat cowok dan
cewek menjadi stranger, kemudian
menjadi kenalan. Tak lama, waktu mengganti status mereka jadi teman. Lalu,
nggak lama juga mereka akan saling suka hingga akhirnya pacaran. Syukur-syukur
kalau misalnya nemu yang klop.
Yah, mungkin
semua proses itu selalu berjalan lancar hampir di semua teman-temanku. Most of them udah pernah pacaran, dan
status jomblo itu cuma sebentar aja disandang mereka.
Kalau dibuat
survei, mungkin cuma sekitar 3-5% yang belum pacaran.
Bagi mereka,
jomblo kelamaan itu mungkin adalah sebuah penyakit. Ada saatnya dimana kita
harus cepetan sembuh, walaupun juga kadang obatnya itu punya efek samping. Yang
ada dipikirannya mungkin cuma sembuh, dan nggak ketemu lagi sama virus dan mikrobia
bernama jomblo.
Tapi aku
sudah berteman lama dengan virus yang namanya jomblo ini. Dan, aku cukup puas
mendapati kenyataan bahwa selama 14 tahun aku hidup ini, nggak ada cowok yang
mau deket – dalam arti serius – sama saya.
Makanya,
mungkin karena sudah paham betul asam pahit manisnya jomblo, itu semua jadi
berbanding lurus sama cinta diam-diam. Karena kebanyakan cinta dipendem,
jadinya nggak tersampaikan maksudnya, dan akhirnya jomblo.
Tapi ada
kalanya aku envy sama orang yang
begitu mudahnya dapet gebetan. Like the
most of human. Sifat manusiawi.
Contohnya
begini. Seseorang bernama Aki, barusan putus dari pacarnya. Belum bisa move on. Tapi lama-kelamaan si Aki ini
jatuh cinta lagi sama taksirannya dulu. Setelah itu mereka mulai intens
komunikasi. Lalu kemudian, Aki berhasil move
on dan nembak si cewek.
Betapa
enaknya jika sebuah storyline tentang
cinta nggak terlalu kompleks seperti itu.
Jika
ditelisik lebih jauh, ada sebuah tahapan dimana aku nggak pernah ngelakuin itu.
Komunikasi.
Oh. Maaf.
Bukannya nggak pernah sama sekali, sih. Pernah. Tapi ke orang yang salah. Yang
ada malah perasaan nggak ditanggapi, dan kecewa.
Teringat
kata-kata seorang teman saat di Bali. Satu angkutan sedang ramai menggojloki
temanku ini dengan seribu pertanyaan tentang taksiran temanku. Dan pertanyaan
itu sampai padaku.
Saat itu
mereka bertanya, “Lha, kalau Nancy gimana?”
“Nggak
mungkin, lah sama Nancy!” Aku cuma diam, lalu mendengarkan percakapan mereka. Sesaat
kemudian dia menambahkan, “Bukan.. Aku cuma jarang ngomong sama Nancy.”
Ulu hatiku
rasanya sedang ditusuk dengan bara. Sedih. Oh,
jadi gini, toh pemikirannya para cowok tentang saya.
Kacamata.
Kutu buku. Kaku. Pendiam.
Yah. Mungkin
itu yang mereka pikirkan tentang aku. Itu sebabnya mereka – laki-laki – jaga jarak.
Mungkin di kepala mereka ada tanda “Keep away from Nancy”.
Tapi,
alih-alih memikirkan itu, nggak tahu kenapa aku lebih suka berpikir bahwa ini
adalah satu bentuk kasih sayang Tuhan sama aku. Allah tahu, kalau aku sedang
berada di lingkungan yang seharusnya dan memang berbeda sama aku. Tuhan
membentengi para laki-laki itu agar nggak dekat-dekat sama aku, karena Tuhan
tahu ada benteng yang besar diantara kita – aku dan para laki-laki.
Iman.
Tuhan nggak
mau aku sakit hati, atau bahagia sesaat. Sang Khalik sudah mempersiapkan
kebahagiaan yang sesungguhnya untuk aku.
Ya. Aku
lebih suka berpikir seperti itu.
Bahkan
sampai virus jomblo ini membuat hatiku karatan, aku akan terus berpikir seperti
itu. Karena lewat ini, Tuhan mendidik aku menjadi dewasa.
And I really thankful of that.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar