(Author's note: Akhirnya part 3 berhasil lahir dengan selamat. *tepuk tepuk laptop* Sebelumnya aku mau minta maaf sama temen-temen yang udah kebelet mau mbaca part 3 dari cerita ini, khususnya duo je yang udah kayak mau ngebeleh aku di sekolah, terima kasih. Berkat kalian aku jadi semangat banget buat nyelesain yang satu ini. :D Buat yang lainnya, selamat membaca, ya. Part-part awal masih belum ngena, tapi di part selanjutnya semoga permasalahannya cepet keliatan. Sabar menanti, ya kawans!)
“Jadi, selama ini kau
pergi ke Amerika hanya untuk berpacaran?!” Pekik Elle terkejut.
Yang ditanya malah
cuek. Charlotte mengambil teh yang sudah dihidangkan di meja sedari tadi, lalu
menyesapnya tanpa suara. Elle menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Charlotte, tolong
jelaskan padaku. Aku bingung..” Rengeknya.
Charlotte melirik
sahabatnya itu sejenak, lalu meletakkan cangkir tehnya, masih tanpa suara. Dia
lalu berdeham sejenak. “Tentu saja tidak hanya untuk itu. Kau tahu aku pergi ke
Amerika, kan untuk melanjutkan studi.” Jawabnya ringkas. Elle masih melongo
tidak percaya. Rasanya baru kemarin Charlotte mengatakan dengan jelas bahwa dia
tidak akan berpacaran dengan pria manapun, dan sekarang dengan mudahnya dia
mengatakan bahwa dia akan bertunangan. Ini terlalu cepat bagi Elle. Dia tidak
rela ditinggal single disini
sendirian.
“Hei, santai saja
nona lavender. Aku disini tetap akan menemanimu, kok. Yah, karena studi
diplomaku sudah selesai, jadi aku bisa menetap di Paris sesuka hatiku. Aku akan
tetap disini sampai aku yakin ada orang yang pantas untukmu.” Kata Charlotte
untuk menenangkan sahabatnya sejak sekolah menengah itu. Elle tersenyum.
Perempuan di depannya ini memang tidak pernah berubah. Dia selalu setia kawan.
Elle sendiri yakin, tipe perempuan seperti Charlotte ini tidak pernah main-main
ketika mengatakan sesuatu. “Tapi awas saja kalau kau mendapatkan pria yang
lebih tampan daripada kekasihku.” Tambahnya. Elle terdiam. Lalu tiba-tiba,
kehangatan mulai menjalar di ruangan itu.
***
Elle terduduk di
jendela kamarnya. Kamar Elle memiliki jendela yang cukup besar, jendela itu
menghubungkan kamarnya dengan taman di rumahnya. Jika sedang bersantai, inilah
kebiasaan Elle. Berpikir, dan berpikir.
Dia tidak memiliki kriteria
pria idaman. Baginya, itu semua hanya klise. Semu. Jujur saja, selama belasan
tahun dia hidup, dia tak pernah – sekalipun – memiliki kekasih. Dia sering
menyukai laki-laki, tapi tak pernah terbalas. Alasannya sederhana. Bukan jodoh.
Elle menepuk pipinya.
Hei, kenapa harus memikirkan tentang hal bodoh dengan cinta? Cinta akan datang
dengan sendirinya, karena pemiliknya sudah punya benang merah. Tunggu saja,
Elle, pikirnya.
Elle menatap bunga
mawar putih dan bunga mawar merah yang ditanam berdampingan di taman rumahnya.
Ya, sama seperti mawar putih dan mawar merah itulah dia nanti.
***
Elle mengelap
etalase, benda terakhir yang perlu ia poles pagi ini. Keadaan tokonya terlihat
sangat baik hari ini. Sebaik cuaca cerah yang mendekap pagi.
Tapi mata Elle
rasanya masih berat, entah kenapa.
Elle melirik
bertangkai-tangkai bunga yang ada di tokonya, namun pikiran tentang bunga Lily
jingga yang dibeli oleh pria itu kembali muncul. Belum pernah Elle berpikir
selama ini tentang seorang pelanggan. Biasanya dia hanya menganggap mereka
sebagai orang awam yang tak mengerti sedikitpun tentang bunga.
Namun laki-laki ini
berbeda. Auranya begitu.. Misterius.
Kata Charlotte, Elle
mungkin hanya terpikat pada paras laki-laki itu yang begitu tampan. Tapi
Charlotte tak mengerti. Ini lebih dari sekedar itu.
Elle menarik sebuah
kursi, lalu menyeretnya ke dekat etalase. Dia menarik napas panjang. Angin
lembut menerpa wajahnya. Dan dia bisa dengan mudah ditarik ke dalam alam mimpi.
***
Sekarang, Antonio
punya kebiasaan baru: memotret.
Walaupun ibunya
selalu mengomel tentang kebiasaan barunya itu, ibunya hanya bisa pasrah ketika
Antonio mengatakan dia sudah terlalu penat dengan semua urusan pekerjaan. Dia
butuh refreshing.
Apa yang biasanya
Antonio potret? Entahlah. Apa yang dia lihat, yang menurutnya cantik, pasti
akan dia potret. Insting fotografinya muncul tiba-tiba.
Naluri Antonio hari
ini entah kenapa mengajaknya untuk pergi ke sebuah toko bunga. Dia masih ingat
betul pagi itu, usaha ibunya untuk menjodohkannya dengan boneka-barbie-bernama-Corinne,
juga paksaan ibunya agar dia mau bersikap manis dengan membelikan perempuan itu
bunga.
Antonio meninggalkan
Ferrarinya di rumah. Dia benar-benar malas untuk memakainya saat ini. Biarlah
saat ini dia berkamuflase menjadi orang yang benar-benar normal.
Jalanan Paris dari
hari ke hari memang tak ada bedanya, bahkan saat Antonio turun dari keretanya,
barisan orang yang akan berangkat kerja sudah menanti dengan sabar untuk masuk
ke kompartemen. Hidup normal seperti ini memang perlu, pikir Antonio.
Toko bunga Lé Seulé
yang tampak berbeda dari yang lainnya itu mulai terlihat. Antonio
mendekati beberapa bunga yang dipasang
di depan toko, lalu mulai memotret sejenak. Namun ketika dia mulai mengalihkan
lensanya, sebuah pemandangan cantik terhampar di depan matanya.
Seorang gadis
berambut pirang tertidur di atas kursi dekat etalase tokonya. Kepalanya
terantuk-antuk, tapi wajah tentramnya masih terlihat. Antonio pernah bertemu
dengan gadis itu ketika dia membeli bunga untuk Corinne. Getaran itu menyentuh
dasar hatinya. Memang ada getaran tersendiri saat Antonio menatap gadis itu
pertama kali, tapi dia mengacuhkannya. Dia tak menyangka itu akan muncul lagi.
Antonio menambah
fokus kameranya, lalu menekan tombol potret.
Lalu, entah insting
apa yang menggiring Antonio, kakinya melangkah menuju coffee shop dekat toko bunga itu, lalu membeli dua cangkir kertas
kopi di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar