(Author’s note :
Hei.. Heyaa! Akhirnyaa, setelah sekian lama, sempet juga ngelanjutin cerita
ini. Buat yang udah nunggu lama, selamat menikmati. Saya janji, part ketiga
pasti akan lebih lama daripada part ini. *dilempar bom*)
Ferrari hitam legam
itu melaju dengan kecepatan rata-rata di jalanan kota Paris. Antonio melirik
sekilas gadis berambut cokelat di sampingnya, lalu menggosokkan tangannya di
depan hidungnya yang sedikit gatal.
“Corinne..” Katanya
membuka pembicaraan.
Gadis di sampingnya
dengan cepat menoleh. Sorot matanya terlihat bahagia karena laki-laki yang
sedang duduk di belakang kemudi itu akhirnya memanggil namanya setelah semua
kesunyian yang menelan mereka berdua sedari tadi.
“Hm? Ada apa?” Tanya
Corinne dengan nada selembut mungkin.
Antonio masih saja menggosok
hidungnya. “Bisa tolong ambilkan tisu disana?” Tanyanya sambil menunjuk laci
mobilnya.
Dengan kecewa,
Corinne membuka laci itu, lalu memberikan selembar tisu pada Antonio.
“Tak biasanya orang
flu saat musim semi. Udaranya kan tidak terlalu ekstrim seperti musim dingin,”
Kata Corinne sambil menatap laki-laki yang sedang membersit hidung di
sebelahnya.
“Entahlah. Padahal
musim lalu aku tak pernah seperti ini.” Kata Antonio ringkas.
Mobil Antonio
berhenti di depan sebuah rumah bergaya klasik. Pagar rumah itu dihiasi dengan
ornamen-ornamen, seakan menunjukkan bahwa pemiliknya bukanlah orang
sembarangan. Antonio turun dari mobilnya, lalu membukakan pintu di sisi
Corinne. Ayahnya selalu mengajarkan ini pada Antonio.
“Thanks for the dinner, Antonio.” Kata Corinne dengan sopan. Dia
menatap Antonio dengan sungguh-sungguh.
“Ya.” Balas Antonio
dengan singkat. Tiba-tiba, dia teringat tentang bunga yang dibelinya. “Bisa
tunggu disini sebentar?” Tanyanya.
Corinne hanya
mengangguk. Dia memperhatikan laki-laki yang berjalan kembali menuju mobilnya
itu. Laki-laki jangkung itu ternyata mengambil sebuket bunga berwarna jingga
cerah.
“Ini untukmu.” Kata
Antonio, sembari memberikan buket bunganya.
Sejenak, Antonio
menangkap tatapan kegirangan di mata Corinne. Gadis itu mengambil bunga di
tangannya dengan anggun. “Terima kasih.” Katanya.
***
Kata orang, hidup itu
akan terasa lebih indah jika kita bisa menikmati pagi. Apalagi itu di hari
Minggu. Dan, disinilah Elle. Di taman kecil miliknya sendiri berusaha menikmati
waktu. Dia menyirami bunga-bunga di rumahnya sambil bersenandung kecil. Bunga
yang basah, terlihat sangat cantik dimatanya.
Elle menggulung
lengan bajunya, lalu mencuci tangannya di kran. Dia lalu memercikkan sedikit
air ke wajahnya yang penuh dengan keringat.
“Butuh handuk?” Tanya
seseorang dengan suara lembut.
Elle menoleh dengan
kaget. Di belakangnya, terlihat seorang gadis bermata biru. Dia menatap Elle
dengan tatapan cerah.
“Charlotte!” Pekik
Elle sambil memeluk perempuan itu. Hari Minggunya tak bisa lebih baik dari pada
sekarang.
***
Antonio mengusap
matanya yang sedikit perih. Dokumen-dokumen ini selalu saja mengganggunya
setiap hari. Dia ingin sekali bisa pergi ke suatu tempat, dimana dokumen ini
tak akan bisa berkutik lagi. Bahkan pada hari Minggu dan di rumahnya,
dokumen-dokumen sialan itu selalu mengganggunya. Antonio menghela napas
panjang, lalu berjalan menuju balkon.
Semilir angin pagi
menerpa wajahnya. Dia mengambil napas dalam-dalam. Beban di kepalanya sedikit
berkurang, kabut di kepalanya juga mulai meredup.
Saat dia kembali ke
kamarnya, tatapannya hanya tertuju pada satu benda warisan ayahnya: bros bunga
mawar putih. Dia mengambilnya, lalu menggenggamnya. Antonio masih ingat betul,
amanat ayahnya di detik-detik terakhir: menemukan pemilik bros ini yang
sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar