When
you just talked to someone, remember what words that you have spoken
When
you just shouted someone, just remember how they talked to you
Cause
what you said, will be remember by those people
And
this scar that you have made, won’t be healed.
Yah, enggak tau kenapa aku jadi punya sentimental tersendiri
sama orang-orang. Rasanya mulut kekunci. Enggak tau dan enggak mau ngomong
apa-apa lagi kecuali hal yang penting.
Kata mama, faktor orang enggak didengerin, atau enggak
kedengeran itu ada beberapa. Pertama, karena ngomong dari orangnya sendiri itu
terlalu lembut, atau emang dipandang sebelah mata sama orang yang lagi diajak
bicara.
Aku bingung, aku yang bagian mana. Bisa yang pertama, bisa
yang kedua. Gak tau, deh. Ketika aku berusaha ngerasin suara yang menurut aku
udah keras banget, mereka enggak ngasih tanggapan. Ketika aku ngulang-ngulang
kalimat yang enggak ditanggapin itu, dikiranya cerewet. Ini sebenernya yang
tuli yang mana, sih. Aku masih narik napas panjang, enggak meledak.
Lalu lain ceritanya ketika aku yang enggak denger.
Tanggapannya macem-macem. Ada yang masang muka males tapi
dengan sok imut, ada juga yang teriak dengan frontal. Hei, ini negara
demokrasi, dong. Kan terserah kita mau teriak apa enggak? Ya bener, sih. Tapi keliatannya
itu adalah semacam guncangan emosional tau enggak. Ketika orang nanya baik-baik
sama kita, tapi kitanya jawab dengan jawaban tereak sambil nantang.
Untung yang kamu teriakin itu saya.
Kata guru jurnal, masa remaja itu adalah masa dimana hal
yang seharusnya enggak jadi masalah, akan kita permasalahkan. Tapi kalau gitu,
gimana caranya kita tetep sabar?
Oke. Daripada nanti aku keterusan nulis kayak gini terus, dan
nantinya jadi cyber bulliying yang
enggak jelas, aku mau nyari topik lain.
Pendiam.
Itu aku banget. Dulu waktu SD, aku paling irit banget kalau
bicara. Tapi itu enggak berarti aku anti-sosial sama temen-temen. Walaupun aku
pendiam, tapi seenggaknya aku masih punya sahabat baik.
Beda banget sama temenku yang lain, kita sebut dia sebagai
Dewi. Nah, dia sama-sama pendiamnya sama aku, tapi dia cenderung anti sosial.
Kebetulan, Dewi ini temen sohibku pas TK. Dewi ini anaknya kalem banget. Tapi,
yah sayang dia enggak punya temen.
Setiap hari, aku secara enggak langsung merhatiin Dewi. Dia
pergi ke kantin sendiri, pergi kemana-mana sendiri. Jarang bahkan enggak pernah
ditemenin sama satu orangpun. Waktu kerja kelompokpun, dia cuma diam, dan
ngasih saran seperlunya aja. Suaranya kecil banget, sampai-sampai seakan
terabaikan di kelas kita yang ramai waktu itu.
Dan sekarang, aku baru nyadar jadi kayak Dewi itu gimana
rasanya.
Ketika suara kita enggak diabaikan, secara enggak langsung
kita akan memilih tindakan diam. Lalu ketika kita enggak bicara seperti itu,
orang ngira kalau kita itu ada apa-apa.
Mereka bahkan enggak sadar kalau itu karena mereka.
Bukannya menuding, tapi ini realita. Ketika kita cenderung
terabaikan, hal terbaik yang kita lakukan adalah menjauh. Berusaha tidak
membuat luka dan sakit hati lain, karena kata-kata kita yang terabaikan.
Memang apa sih salahnya berusaha untuk berbicara baik dengan aku yang sekarang? Separah itukah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar