“The beauty that will last forever is inner
beauty, not the beauty that we can see from far away.”
Yang namanya
karakter setiap manusia itu nggak ada yang bisa ngira. Semua itu biasanya bisa
kita liat, dan jadi kesan pertama kita buat orang itu. Tapi terkadang, untuk
bisa menerima karakter manusia itu butuh waktu yang panjang banget. Khususnya,
untuk sisi negatif dari orang itu.
Kedengarannya
berat, ya?
Tapi itulah
topik pembicaraan antara aku sama mama hari ini. Faktanya, ada seorang teman
lamaku yang karakternya membuat orang kaget. Wajahnya ayu bak putri, tapi
tingkah laku minus sekian.
Aku sempat punya
masalah sama seorang teman lama ini. Walaupun kelihatannya kita nggak pernah
bergesekan sama sekali pas sekolah dulu, tapi menurutku aku sudah mengalami
beberapa gesekan sama dia.
Bahkan,
entah mengapa aku merasa bahwa aku sudah ditandai sebagai saingan sama dia.
Entahlah. Hanya sebuah insting yang tiba-tiba muncul ketika aku membicarakan
dia. Pasalnya, dia selalu berusaha untuk terlihat lebih daripada orang lain,
khususnya aku. Mungkin kedengarannya terlalu over ketika aku bilang begini, tapi itulah pikiran yang muncul.
“Ya, gitu, ma. Dia kadang-kadang bikin
aku sebel banget,” Begitu kataku setelah segala tetek bengek tentang teman lama
ini kembali kubuka saat sesi curhat. Mama cuma manggut-manggut. Wajah beliau
terlihat serius sekali.
“Kalau gitu,
lain kali kamu labrak aja kalau
ketemu. Biar tahu rasa,” Mama berkata kemudian dengan ekspresi yang sama.
Air kran
mengucur, sementara aku membilas piring yang masih berlumuran sabun. “Iya juga,
sih ma. Tapi aku males ribut-ribut.
Kalau orang nggak tahu karakternya dia, ya mesti
emosi kayak mama,”
“Percuma mukanya
cantik tapi tingkah lakunya nggak bener,”
“Makanya
itu. Aku kadang-kadang juga nggak habis pikir. Sayang mukanya ayu,” kataku.
“Mama waktu
pertama ngeliat dia juga kurang sreg.
Kesannya kurang menyenangkan, gitu,” Mama kemudian cerita. Aku masih ingat saat
mama dan teman lamaku itu bertemu. Saat itu mama menjemput aku di sekolah, dan
kemudian mama tanya ke dia di mana aku.
“Sudahlah.
Yang penting, kan kamu nggak kayak
gitu. Kamu harus baik jalannya,” ucap mama. “Lagipula, orang-orang yang bener, mesti tahu, lah. Mereka pasti
lebih cenderung ke anak yang cantik, terus tingkahnya nggak aneh-aneh. Kalau cuma
ngeliat mukanya aja, itu yang nggak bener,”
Aku terdiam.
Sesaat kemudian mama mulai mengambil alih tugas cuci piringku. Saat masuk ke
kamar, perlahan kuresapi nasihat mama.
Orang yang
baik, pasti tahu mana kualitas yang mereka cari. Contohnya saja saat membeli
barang. Orang yang tahu kualitas, pasti akan menyeleksi barang mana yang mereka
perlu beli, seperti apa fungsinya, juga berapa harganya. Mereka tentu nggak
akan keberatan membayar sedikit mahal untuk barang yang kualitasnya memang
benar-benar baik.
Tapi kalau
orang yang sembarangan, mereka pasti akan asal ambil. Asal tampilan luarnya
bagus, pasti mereka akan langsung membelinya tanpa pikir panjang. Tindakan
sembrono untuk orang di jaman sekarang.
Kembali
pikiran itu melebar.
Ketika aku mulai
menggabung-gabungkan semua kualitas yang secara tersirat mama bilang, aku tahu
sekarang. Bagaimana tipikal laki-laki yang baik, atau tidak.
Sama seperti
analogi kita tadi.
Kalau
dipikir-pikir, kata-kata dari orang bijak itu bukan cuma asal ngomong. Selalu
ada makna dalam yang bisa digali. Untungnya tidak terlalu bercabang banyak
seperti filsafat, tapi kebenaraannya bisa diresapi benar.
Aku tahu
sekarang tipe laki-laki mana yang harus kupilih.
..
..
Dan aku
lebih memilih menjadi seorang yang baik hatinya daripada jadi seorang yang baik
wajahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar