Hari ini aku
merasa tiba-tiba flashback ke masa
lalu. Kembali ke masa satu tahun sampai dua tahun yang lalu. Jadi seorang
perempuan berseragam putih-biru yang (kelihatannya) gembira.
Kadang heran
juga ketika menyadari betapa mudahnya memori itu tergali dengan sendirinya,
tanpa kita harapkan sedikitpun. Aku bahkan nggak pernah sadar kalau aku pernah
mengalami hal yang seperti itu.
Hari ini
sepulang sekolah, seorang teman curhat, tentang seorang taksiran yang lagi dia
kejar. Dan intinya dia sedih karena taksirannya itu sudah punya pacar. Ketika
ngedengerin ceritanya, aku manggut-manggut. Awalnya temanku ini nggak begitu
percaya. Namun karena desakanku, akhirnya dia mau cerita, dengan satu syarat.
Syaratnya
aku harus tutup mulut, tentu saja. Apa lagi yang kita butuhkan? Kata orang,
awal dari menjadi seorang pendengar yang baik, adalah kamu harus bisa menjaga
mulutmu sendiri. Tahu prioritas. Mana yang harus dibicarakan di luar, dan mana
yang harus kamu simpan rapat-rapat untuk dirimu sendiri.
Temanku
dengan ekspresi kecewa berat saat itu mengeluhkan nasib buruknya. Ketika
seorang guru lewat dan menyuruh kita untuk segera pulang (karena ini malam
minggu). Dengan raut wajah lesu dia berkata, “Saya kencan, kok Bu..”
“Kencan sama
ikan, ya?” Aku menyambar kemudian sambil tertawa.
Sesampainya
di rumah, aku mulai sadar kalau cerita temanku ini mirip sekali denganku.
Sekitar satu, sampai dua tahun yang lalu. Cerita yang sampai sekarang masih
terus mengendap diblog, untuk
sesekali kubaca saat nggak ada bahan bacaan.
Biasanya,
ketika aku sudah jenuh membuka beberapa situs yang biasanya kuketikkan di bar, aku akan membuka blog yang sedang kalian baca ini.
Membaca beberapa post yang biasanya
kuketik dengan terburu-buru karena betapa banyaknya luapan perasaan yang ingin
kutuliskan.
Ada dua hal
yang kusadari ketika aku membaca tulisan lamaku. Pertama, aku merasa gaya bahasaku nggak konsisten. Kadang bisa
santai, dan kadang bisa berakhir semi cerita online seperti sekarang. Anggap saja aku masih mencari jati diri.
Kedua, aku
merasa bahwa semua yang aku tulis di sini, ada perlunya juga. Senggaknya aku
dapat mengingat masa-masa yang perlu kuingat, dan kuanggap menarik dulu.
Karena
kebiasaan itu, terkadang aku malah membuka luka lama. Sudah jadi rahasia umum
kalau aku juaranya jatuh cinta diam-diam.
Aku jatuh
cinta padanya, saat menginjak tahun kedua sekolah menengah pertama. Uhm. Mungkin nggak jatuh cinta. Lebih ke
sekadar perasaan nyaman yang selalu ia tawarkan. Dia di sisiku, aku merasa
begitu nyaman dan dekat. Tak pernah aku merasa sedekat itu dengan seorang
laki-laki tanpa rasa canggung sedikitpun.
Sayangnya
ketika aku memiliki perasaan itu, dia mungkin
nggak memiliki perasaan yang sama.
Dia malah jatuh cinta pada perempuan
lain, lalu menjalin hubungan dengan perempuan itu.
Mungkin ini
takdir. Kata orang, kamu nggak boleh melawan yang namanya takdir.
Dan selalu
seperti itu akhirnya. Aku suka pada seseorang yang sudah punya pacar. Mungkin
semacam siklus yang terus berputar seperti hujan.
Dia adalah
laki-laki yang baik. Bisa diandalkan. Mungkin sebagian orang tidak menyangka ia
seperti itu, karena tingkahnya yang selalu santai. Tapi kenyataannya dia bisa
diandalkan.
Aku nyaman
di sisinya sampai sekarang. Aku tahu pasti itu karena hal yang kusebutkan. Dia laki-laki yang bertanggung jawab, dan
bisa diandalkan.
Dia punya
seorang pacar, dan aku nggak. Memang kenyataan itu yang nggak pernah bisa
berubah. Seakan dia adalah Arjuna yang terus menembakkan panahnya pada
sasarannya. Selalu berhasil mendapatkan yang ia mau.
Dan aku
hanyalah seorang perempuan yang tidak beruntung terkena panah asmara dari
Arjuna. Aku hanya pemeran pembantu di skrip cerita hidupnya. Tak pernah jadi
seseorang yang terlalu berarti.
Walaupun ia
jadi pemeran utama dalam skrip ceritaku sampai sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar