Luckily ada ide lagi. Ini dia!
Matahari mulai kembali ke peraduannya, berganti tugas dengan sang bulan. Sang bulan berhasil membuat semua orang terpukau dengan kembalinya ia menjadi bulatan penuh cahaya di langit. Hari pertama bulan purnama kembali menyinari langit tempatku bernaung.
Matahari mulai kembali ke peraduannya, berganti tugas dengan sang bulan. Sang bulan berhasil membuat semua orang terpukau dengan kembalinya ia menjadi bulatan penuh cahaya di langit. Hari pertama bulan purnama kembali menyinari langit tempatku bernaung.
Aku menarik napas dalam-dalam, lantas memeluk kakiku erat.
Dinginnya malam mulai menusuk tubuhku, namun aku tak berniat untuk berpindah ke
tempat yang hangat sedikitpun.
Beberapa tahun yang lalu kita menikmati bulan purnama di
langit yang sama. Dengan kau di sampingku, menggenggam erat jemariku, seakan
jemariku adalah benda yang paling berharga untukmu. Kau pernah bilang, tanganku
sehangat secangkir teh yang biasa kau seduh tiap pagi. Teh Cina kesukaanmu.
Saat itu, sang bulan menyinari wajahmu. Membuatmu terlihat
seperti seorang artis yang disinari oleh sinar warna-warni di atas panggung.
Senyummu terkembang. Semanis gulungan gula berwarna merah muda di festival.
Kau menatap bulan dengan takjub, menikmati indahnya sang
bulan. Kau berkata kau seperti terbuai ke dalam alam mimpi. Dengan bulan.. dan
aku bersamamu. Kau bilang kau tak akan pernah meninggalkanku dan akan terus
menikmati bulan bersamaku.
Namun nyatanya kau pergi. Meninggalkanku sendiri dengan sang
bulan. Tak ada lagi bayangmu disisiku, tak ada lagi tanganmu yang melindungi
tanganku dari dinginnya angin malam, tak ada lagi senyum manis yang bisa
kulihat tiap saat.
Aku menarik napas panjang, memasukkan udara malam yang minim
oksigen ke dalam paru-paruku. Kemudian, kurapatkan jaketmu yang kebesaran ditubuhku.
Sebuah barang yang tak pernah sempat kukembalikan padamu.
Sambil meletakkan dagu di atas lutut, samar-samar kuhirup
aroma tubuhmu yang menguar di jaket ini. Sudah kucuci berulang kali, namun
aroma itu masih muncul. Membuatku makin merasakan rindu yang mulai
mengiris-iris kalbu.
Apakah kau sedang menikmati bulan bersamaku hari ini? Ah.
Mungkin pikiranku terlalu mengada-ada.
Aku mengerutkan bibirku, berusaha menahan rasa sakit yang
makin lama makin terasa. Sudahlah. Mungkin lebih baik aku kembali.
Aku berdiri, lalu membersihkan pakaianku dari debu yang
menempel. Sesaat kemudian kutangkap sosokmu berdiri di sebelahku.
Kau menatap bulan, menunjukkan sisimu dari samping. Sisi
favoritku. Matamu menatap bulan sendu, sambil tersenyum kecil. Aku tak
mempercayai mataku.
Sesaat kemudian, kau mengalihkan pandanganmu, lalu berbalik
menatapku. Masih dengan senyum yang sama. Senyum kecil yang bisa membuat
orang-orang di seluruh dunia berbalik pandang ke arahmu. Kau terlihat sangat
tenang, dan bahagia di balik balutan kemeja serta celana bahan sederhana itu.
Air mataku tanpa sadar mengalir. Jantungku berdegup kencang
karena suatu alasan. Bibirku gemetar, diikuti oleh seluruh tubuhku yang mulai
bergerak tak terkendali. Apakah ini nyata?
Aku kemudian kembali terduduk, kehilangan seluruh tenagaku
untuk kembali berdiri. Kulihat kau yang berjongkok di sebelahku, lalu
menggelengkan kepala. Menyuruhku agar tidak lagi menangis.
Namun aku tak bisa.
Ketika kembali kuingat tentang bulan purnama terakhir yang
kita lihat. Tentang aku yang tiba-tiba mengalami serangan jantung serta kau
yang tertabrak mobil saat berusaha membawaku ke rumah sakit. Aku merasa bahwa
aku adalah orang yang paling tidak berguna.
Saat aku membuka mata, sosokmu berada disisiku. Tersenyum,
tanpa kata. Sekilas kau hendak menggenggam tanganku, namun akhirnya kau hanya
duduk di sampingku dengan senyummu yang selalu menjadi favoritku itu.
Aku bertanya siapa yang berbaik hati menyumbangkan
jantungnya untukku pada ibuku. Aku ingin memberikan sesuatu yang baik pada keluarganya
yang dengan ikhlas merelakan jantungnya berdetak kembali di tubuhku.
Ibuku kemudian menangis, terlihat seperti kehilangan anak
keduanya. Saat itu pula aku mengerti, lalu mulai ikut menangis sambil menatap
sosokmu yang perlahan keluar pintu ruang rawat.
Sekarang kau kembali lagi, masih dengan senyummu.
“Apa.. kenapa – “ Aku bahkan tak mampu lagi merangkai
kata-kata. Tanganku mencengkeram erat jaket yang sedari tadi kupakai.
Kau hanya menggeleng, lalu tersenyum menenangkan. Daun-daun
bergemerisik pelan, seakan menjelaskan apa yang ingin kau sampaikan.
Aku masih sibuk dengan tangisku, dan kau masih saja terus
tersenyum sambil memintaku untuk menghapus air mataku. Seperti sebelumnya,
sesaat kemudian aku mulai mengerti.
Kau kemudian menunjuk bulan purnama, dan menepuk sebelah
kiri dadamu kecil. Kau kemudian menarik napas panjang sambil tersenyum. Matamu
terpejam.
Air mata kembali mengalir, membentuk sungai kecil. Mulutku
bungkam, tak dapat berbicara apapun.
Kita menikmati bulan purnama yang sama, begitu katamu. Kau
memang tak ada lagi di sampingku, namun kau akan selalu bersamaku, di setiap
tarikan napasku. Kau akan selalu bersamaku, di setiap aliran darahku. Kau
selalu berdiam di hatiku. Dan kau juga bahagia melihatku, jelasmu.
Sesaat kemudian aku tak bisa lagi mengendalikan tangisku.
Sosokmu perlahan menghilang, menyisakan memori tentang senyuman itu.
Aku kembali menatap bulan purnama yang masih bersinar terang
di langit. Dalam hati aku menggemakan rasa terima kasih pada Tuhan, karena hari
ini aku tahu sebuah fakta.
Fakta bahwa kau mencintaiku sepenuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar