Tujuh belas
Agustus. Sebuah momentum dimana insan Indonesia bergembira, dan merayakan hari
bebasnya negara dari penjajahan. Sebuah momentum tentang proklamasi negara kita
yang dikumandangkan secara tegas oleh bung Karno, mewakili suara seluruh
Indonesia.
Tujuh belas
Agustus seribu sembilan ratus empat puluh lima.
Dentum
sepatu dari beberapa orang secara bersamaan. Sepasang dari sepatu-sepatu itu
adalah milikku. Sepatu kets warna putih yang sedikit lecet karena terlalu sibuk
dihari kemarin.
Kutatap
laki-laki yang memunggungiku di depan. Ia adalah orang yang bertugas untuk
mengerek bendera hari ini. Bersama dua temannya, ia akan menghadapi tiang, lalu
mengibarkan sang bendera ke angkasa.
Sementara
teman-temanku sibuk berbisik di belakang, aku menatap protokol dengan perasaan
campur aduk. Kemarin sang protokol sudah memberi tahu kami bahwa giliran kami
akan datang setelah pembacaan teks proklamasi.
“Pembacaan
teks proklamasi.” Bibir sang protokol mengucapkan pendek tentang agenda
selanjutya di upacara kami.
Deg. Deg.
Aku menarik
napas dalam-dalam. Memejamkan mata sejenak, sambil terkadang mendengarkan
ocehan teman-teman. Sesaat kemudian, aku memperhatikan sang pengerek bendera
dari belakang. Tangannya yang terkepal bergerak-gerak gelisah.
Aku menatap
langit, lalu menarik napas panjang lagi. Ternyata bukan hanya aku yang tegang.
Jujur, ini
memang bukan kali pertama aku menjadi salah satu anggota paskibra di sekolah.
Di sekolah menengah pertama, aku pernah melakukannya.
Namun ada
beberapa faktor mengapa aku berhak tegang.
Pertama. Ini
adalah upacara pertamaku sebagai paskibra di SMA. Tempat baru, suasana baru,
dan orang-orang baru. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana reaksi mereka
ketika kita melakukan sebuah kesalahan kecil.
Kedua.
Anggota baru. Itu berarti kita harus menyamakan napas dengan anggota yang lain.
Menjadi satu jiwa, satu irama untuk upacara bendera ini. Tapi kuanggap ini
tidak terlalu merepotkan.
Ketiga. Ini acara besar.
“Pengibaran
sang merah putih.”
“Ayo, siap,”
Laki-laki di hadapanku melirik ke barisan belakang. Sebagai orang paling senior
dipaskibra, aku tak heran jika ia mengingatkan kami. “Langkahnya pelan aja.
Santai.” komandonya kemudian.
Aku membuang
napas, lalu menariknya kembali. Tuhan begitu baik memberikan oksigen secara
gratis. Jika tidak, mungkin aku harus membayar hanya untuk bernapas.
“Luruskan.”
Barisan
paling depan mulai merentangkan sebelah tangannya. Sementara baris paling kanan
melencangkan tangannya ke depan.
Sepatu kami
mulai menghentak lapangan. Aku melirik bendera yang dipegang oleh laki-laki di
barisan paling depan. Entah apa yang terjadi, pokoknya bendera ini harus sampai
ke tiang, dan berkibar. Sampai seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar