(Author's note: Nggak pernah saya se excited ini ketika nulis sesuatu. Berawal dari sebuah ide yang tiba-tiba muncul, jadilah cerpen ini. Can you guess who is the man? ;) )
Hari terus berganti mengabaikan betapa banyak
berubahnya dirimu. Matahari menyembul di ufuk timur tak peduli kau masih ingin
berduaan dengan kasurmu atau tidak. Angin musim gugur yang dingin pun seakan
acuh dengan napasmu yang tak pernah bersahabat dengan udara dingin.
Pertemuan hari ini seperti pertemuan yang tak
pernah kita lakukan selama satu abad lamanya. Setidaknya itulah perasaan yang
muncul ketika ku melihat penampilanmu yang banyak berubah. Kutatap lekat-lekat
wajahmu, hendak membuka sebuah software di
otakku yang bekerja untuk membandingkan penampilan orang yang sekarang, lalu
yang sebelumnya.
Kau yang dulu, bukanlah kau yang sekarang.
Rambut yang tadinya cepak berwarna hitam itu, kini sudah memanjang, dan berubah
warna menjadi kemerahan. Entah itu karena matahari, atau karena cat rambut.
Kedua pipi yang tadinya tirus, kini terlihat lebih berisi. Dan selebihnya,
semuanya sama. Setidaknya itu kata mereka.
Kau masih tetap dengan senyummu yang lebar
dan khas itu. Kau masih juga berkawan dengan lidahmu yang tak orang-orang
sangka dapat melontarkan kalimat sarkartis, tapi mengundang tawa. Wajah yang
terlihat seperti anak kecil itu juga masih sama. Semuanya masih sama, menurut
mereka.
Tapi dimataku, ditengah semua kesilauan yang
meliputi penampilanmu selama ini, kau terlihat sangat lelah. Sangat teramat
lelah, sampai-sampai aku tak habis pikir, kenapa kau terus-terusan bertahan
seperti ini?
Kedua mata yang kata mereka bersinar itu. Apa
mereka tidak sadar bahwa ada kantung mata yang makin lama makin tebal di
bawahnya? Lipatan mata bahkan tidak setebal itu. Lebih mudah lagi, jika menatap
kedua matamu secara intens selama semenit. Pasti kedua matamu akan berkedip
agak lama dari pada orang biasanya. Seperti orang yang hendak tertidur saat
berjalan atau sedang duduk.
Lalu senyum yang kadang-kadang berubah ketika
orang lain mengalihkan pandangan. Kau pasti akan menatap lantai sejenak dengan
senyum datar, tanpa makna. Lalu sesaat itu kau akan mencoba menghadapi mereka
dengan senyummu lagi.
“Apa kau lelah?” tembakku langsung ketika kau
menyesap wine di gelasmu secara
perlahan. Hobimu yang tak pernah berubah. Pecinta wine melebihi minuman beralkohol lainnya. Sesekali, ketika jadwalmu
kosong, kau akan menyempatkan diri untuk berkumpul bersama teman-temanmu, lalu
melakukan kebiasaan kalian. Kau bilang, kalian itu geng yang berkelas. Tapi
sering kali kudengar kamu pulang dalam keadaan setengah sadar dan membuat
saudara-saudara satu asramamu panik setengah mati.
Seusai menyesap wine itu, kau melebarkan matamu, “Apa aku terlihat lelah?” Aku
mengangkat alis, lalu melipat tanganku, memasang tatapan bertanya balik. “Cih..
Benarkah?” Aku hanya diam, lalu menunggu air yang ada dalam gelas itu mulai
luber. Menunggu kau menceritakan semuanya.
Kau menuang wine ke dalam gelasmu lagi. Dalam hati, aku menambahkan jumlah itu
ke dalam daftar hitunganku. Dua gelas pertama. Aku harus tetap menghitung agar
kau tidak sampai mabuk. Kalau tidak, bisa-bisa aku yang kena getahnya.
“Ya. Aku lelah,” Kata-kata itu membuatku
yakin bahwa ceritanya masih panjang. Selalu ada sebab dibalik semua perkara.
“Entahlah.. Aku hanya merasa. Aneh? Biasanya aku sangat bahagia ketika pagi
datang, karena aku dapat kembali bekerja dan melihat semua wajah tersenyum
melihatku. Tapi anehnya, aku jadi makin sering insomnia..”
“Apa kau minum kafein atau minuman
berenergi?” tanyaku. Kau menggeleng pelan.
“Aneh, bukan?” Kau terkekeh sebentar, lalu
mulai menyesap wine yang dari tadi
kau putar di tanganmu itu. Aku masih bersandar di sofa, menghindari bau alkohol
yang makin lama makin menyengat seiring mulai banyaknya wine yang kau masukkan ke tubuhmu.
Aku terus terdiam, mengikuti tatapan matamu
yang menatap jauh ke arah jalanan yang hanya dibatasi dengan sebuah kaca satu
arah dari posisi kita. Kau mengamati sepasang suami-istri yang sedang berjalan
menggandeng seorang anak. Mereka terlihat bahagia, tak dapat merasakan tatapan
dari seseorang di belakang kaca dua arah.
Aku mulai mengerti.
“Aku.. Aku lelah. Lelah sendiri,” Kau
menertawakan dirimu sendiri. Kau tak terlihat bahagia, tapi sorot mata itu
terlihat jujur ketika kata-kata itu terucap. Kau menunduk, menatap meja, lalu
mulai menuang wine lagi. Kegiatan
yang konstan terjadi jika kau bingung memutuskan hendak berkata apa.
Sudah kuduga. Kau terlalu lelah, hanya saja
tak pernah kau tampakkan. Kau seperti kepiting. Terlihat keras di luar, tapi di
dalam kau sangat lembut, dan sama seperti manusia yang lain. Keinginan untuk
bahagia, dan menikmati hidup dalam privasi yang terbatas pada diri sendiri.
Bukan privasi yang selalu ingin diketahui oleh khalayak banyak seperti ini.
Setelah gelas ketigamu habis, kau mulai
tertawa. Sesaat kemudian kau menggigit bibir bawahmu dan tersenyum tipis. “Mungkin
aku terdengar sangat dramatis sekali mengatakan hal yang seperti itu..”
Aku mengangkat alis, lalu tersenyum
menghibur. “Yah.. Kau seperti mengutip kata-kata di drama. Dasar maniak drama.”
Kau menatapku, lama. Seakan aku adalah
pemberhentian semua keluh kesahmu. Seakan aku adalah sebuah mesin pembaca chip
otakmu, yang dapat membaca semua arti dari tatapan matamu tanpa perlu kau
berbicara. Kalau sudah seperti ini, aku harus berkata sesuatu. Memancing
anak-anak kalimat dari pemikiranmu itu muncul. Walaupun terlihat lincah
berbahasa saat di layar, di balik layar kau adalah sosok yang berkata sesuatu
yang perlu. Hanya yang perlu.
“Sepertinya, pekerjaanmu mulai padat lagi,
ya? Biasanya kau bangun jam berapa?”
“Jam enam pagi,” jawabmu singkat. Kau
menghela napas panjang, lalu kembali menuangkan wine untuk gelas keempatmu. Satu gelas lagi toleransimu, dan aku
akan mulai menyuruh pelayan untuk mengangkat gelas beserta botol wine dihadapanmu. “Aku .. biasanya
dibangunkan oleh manajer,” Kau menggantung kalimat itu, seakan dibangunkan oleh
manajer itu adalah sebuah aktivitas langka untukmu. “Aku ingin sekali.. suatu
saat dibangunkan oleh istriku, lalu kemudian menikmati sarapan bersama. Aku
juga ingin nanti menjadi ayah siaga yang siap menjadi sopir anakku kapanpun.
Aku ingin menafkahi keluargaku tanpa perlu berpisah jauh dari mereka. Aku ingin
melihat mereka berdua tertidur di pelukku saat kami menonton film. Aku ingin
menjadi orang biasa yang bahagia.”
Tepat setelah itu, matamu tiba-tiba berkaca-kaca.
Bibirmu bergetar. Sesaat kemudian, kamu meneguk alkohol berwarna merah keunguan
itu sekali teguk. “Bawalah. Kau pasti akan memanggil pelayan, kan sesaat lagi?”
Aku mengangguk, lalu mengangkat tangan memanggil seorang pelayan gemuk yang
dengan sigap membereskan semuanya.
“Aku masih ingin tetap sadar,” Begitu ucapmu
setelahnya. Aku hanya mengangguk, lalu menanti kalimat apa yang akan kau
katakan selanjutnya. Hidupmu berat. Dan kau sangat tangguh. Bahkan dengan semua
kecelakaan yang telah kau alami dan hampir merenggut hidupmu, kau selalu
selamat. Wajah yang terlihat polos itu telah menyembunyikan banyak kekuatan
yang orang lain tak pernah mengerti.
Kau kembali menatap kaca satu arah yang
membuatmu tak terlihat dari luar itu. Kau terlihat seperti melamun. Tapi aku
tahu kau sedang berpikir. Kesamaan antara kita berdua mungkin hanya terlihat di
bagian saat kita berdua diam. Orang-orang berpikir kita melamun, padahal
nyatanya kita masih dalam keadaan sadar seratus persen.
Bulir-bulir air mata yang perlahan jatuh itu
membuatku sedikit terkejut, dan perlahan-lahan merasa iba. Sepertinya kau telah
menyimpan luka yang sangat dalam. Tipe luka yang menyayat lembut, lalu kemudian
akan menyisakan luka yang bernanah dan bertahan dalam jangka yang panjang.
“Mungkin ini sebabnya aku insomnia,” Kau
berkata, lalu mengusap air mata di pipimu. Bibir itu bergetar lagi. “Terlalu
banyak berandai,”
Berandai. Bermimpi. Tak ada yang salah dengan
itu. Mimpimu adalah menjadi seseorang yang dapat dikenal orang banyak. Mimpimu
itu bahkan sampai membuatmu harus menentang ayahmu karena tak disetujui. Kau
berhasil membuat ayahmu yakin bahwa kau sangat serius dengan mimpimu menjadi
seorang penyanyi. Sejak saat itu karirmu melambung, dan mulai meluas. Menjadi
aktor, menjadi MC berlidah tajam. Saking terkenalnya identitasmu, agensi
tempatmu bekerja melarangmu menjalin hubungan dengan wanita manapun, yang kau
sanggupi atas dasar kasihmu pada para penggemar.
Bahkan kau sampai rela mengorbankan masa
depanmu sendiri. Aku tak habis pikir. Kau jadi orang lain. Kau seperti ingin
menjadi seorang super hero yang dielu-elukan orang lain. Super hero yang tak
pernah memikirkan dirinya sendiri. Super hero yang mencintai orang lain, sama
seperti mencintai dirinya sendiri, yang akan berakhir dengan bunuh diri. Kau
sempat tertawa mendengar komentarku ini, dan yakin bahwa kau tak akan seperti
itu.
Namun sekarang hasilnya. Laki-laki
dihadapanku ini berubah menjadi sosok yang perlahan-lahan mulai berubah menjadi
laki-laki yang kukenal. Laki-laki yang sama seperti manusia lainnya. Bukan
manusia dengan hati seperti baja. Bukan manusia yang suka memakai pakaian
berkerlap-kerlip. Yang kutemui hanyalah laki-laki yang kucintai sama seperti
diriku sendiri, laki-laki biasa yang masih punya hati.
Kau masih terus menangis. Sweater hitammu
mulai basah, jam tangan Armani yang melingkar di pergelangan tanganmu juga ikut
tertetesi oleh air asin yang mengalir dari kedua matamu.
Aku mulai tak tahan melihatmu menangis.
Perlahan, aku berpindah tempat ke sisimu, lalu mulai menepuk pundakmu
menangkanmu. Pundakmu bergetar makin keras, kau terisak tak terkendali. Seperti
balon berisi air yang ditusuk oleh paku. Tumpah ruah semua tangismu malam ini.
Aku menjejalkan sapu tanganku secara paksa ke
dalam tanganmu yang terkepal erat, sembari tangan yang satunya terus menepuk
pundakmu. Aku tak banyak bicara hari ini.
Kau menyandarkan kepalamu ke sofa. Memutuskan
untuk mulai berhenti menangis. Kau terlihat sangat lega, sementara aku mulai
merasa sebagai dokter kejiwaan khusus untuk seseorang sepertimu. Kau mengusap
air matamu tanpa suara, terlihat sedikit malu karena reaksi tangis yang
terlihat berlebihan tadi.
Kau tertawa kecil, menertawakan dirimu lagi.
“Aku terlihat seperti bukan laki-laki. Menangis di tempat umum seperti ini,”
Aku mengerutkan alis. Ini ruang VIP. Apakah itu termasuk tempat umum?
Aku menepuk pundakmu, dipenuhi rasa simpati.
“Luapkanlah apa yang perlu kau luapkan. Jangan pernah tunggu sampai itu overload, jadinya kau akan – “
“Insomnia,” Kau menjentikkan jarimu, memotong
kalimatku. Aku hanya tersenyum, lalu mangangguk.
Perlahan, kau mulai tertawa lagi. Entah tawa
kesekian untuk dirimu sendiri. Deretan gigi yang putih, serta mata yang ikut
tersenyum itu mengingatkanku akan sosok seorang laki-laki yang sampai sekarang
tetap membuatku jatuh cinta padanya. Tak banyak yang berubah. Mungkin, cinta
ini sedikit berkarat karena sudah terlalu lama disimpan, namun kualitasnya
makin baik, sama seperti wine yang
disimpan selama bertahun-tahun.
Andai saja kau tahu, impianmu itu tak jauh
letaknya. Jaraknya hanya dua jengkal dari sisimu, dan kau bisa merengkuhnya
tanpa perlu menderita. Kau tak perlu insomnia lagi, dan kau bisa menjadi
seorang laki-laki bahagia.
Hanya karena kau tak tahu semua ini, kau menangis.
Butuh waktu agar kau sadar sepenuhnya.
Setelah puas melihatmu mulai tersenyum lagi,
aku perlahan-lahan mengangkat tangan dan memanggil pelayan lagi.
“Tolong dua gelas air putih.” pesanku pada
pelayan gemuk yang tadi mengambil minumanmu.
Kau mengangkat alismu. “Untuk apa?”
“Untuk merayakan insafnya dirimu. Itu adalah
satu-satunya minuman tersehat, sekaligus minuman yang gratis di menu,” jawabku
singkat. Kau mendengus sambil tersenyum, kemudian mulai tertawa lagi.
Menampakkan senyum dan gigi yang dibayar mahal itu.
Setelah itu,
aku ikut tertawa. Ya. Mari kita rayakan bebasnya dirimu dari insomnia,
serta tumpahnya kejujuran dari mulutmu malam ini. Mari kita rayakan juga tujuh
tahun bersarangnya semua pesonamu di hatiku. Tak ada kata pilu hari ini
untukmu. Seperti kata semua orang, waktu akan menunjukkan segalanya. Itu butuh
waktu. Saat waktunya tiba, kan kuteriakkan semuanya. Saat itu, aku akan
menumpahkan semua kejujuranku, sama seperti yang kau lakukan hari ini.
Sementara ini biarlah hatiku terus berubah
menjadi seperti kualitas wine tahunan
yang selalu kau pesan. Walau kutahu, wine
bahkan kalah dibandingkan dengan hatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar