(Author's note: Cerita lain yang berhasil saya lahirkan liburan ini. Selamat menikmati~)
Matahari bersinar sangat terik sampai-sampai
rasanya membakar punggungku. Cahaya matahari itu membuat mataku silau. Jika
sudah seperti ini, biasanya ibu akan mengeluarkan ungkapan bahwa matahari
sangat sehat hari ini.
Hari ini kubertemu denganmu, seorang sahabat
yang kutemui dua tahun lalu. Seorang sahabat yang terkadang membuat iri.
Seorang sahabat yang begitu menyilaukan dengan banyaknya pesona yang berada
pada dirimu.
Kau adalah seorang yang begitu cerdas, berjiwa
pemimpin, tapi bukan tipikal yang otoriter. Kau adalah tipe orang yang
demokratis, begitu katamu. Kau pernah mengatakan padaku, bahwa memimpin itu
tidak perlu suara yang keras. Yang seorang pemimpin perlukan adalah sebuah ketegasan,
bukan kemarahan yang membara. Kau selalu berhasil membuat seisi kelas terdiam
dengan suaramu. Sebuah kemampuan yang seisi kelas sudah akui hebatnya.
Kau begitu kalem, begitu kata mereka. Tipikal
seorang ibu yang baik ketika engkau sudah beranjak dewasa nanti. Begitu
penurut, juga lihai dalam pekerjaan rumah. Sering kali kau mengeluh jika hampir
selama liburan ini, kau selalu sibuk dengan pekerjaan bersih-bersih rumah.
Kau sangat baik. Tak ada kata-kata yang bisa
kuungkapkan lebih jauh lagi.
Akhir-akhir ini kau sering melamun. Tiba-tiba
terdiam dalam percakapan kita. Sering kali kumendapati kamu menatap kosong
suatu tempat sambil meminum minumanmu. Ketika kutanya apakah kau melamun, kau
selalu menjawab bahwa kau sadar sepenuhnya. Hanya tidak tahu ingin bicara apa.
Kau duduk di atas meja, terlihat mendengarkan
ocehan teman-teman disekitarmu. Tersenyum tipis, lalu mengambil air minum dari
tasmu. Kau mulai membuka segel minuman itu, lalu mulai meneguknya. Tatapan
kosong itu hadir lagi.
Aku menghampirimu, lalu duduk di sebelahmu. “Hei.
Bagaimana kabarmu?” tanyamu padaku.
“Baik sekali,” jawabku pelan. Kemudian aku
menepuk pundakmu. “Kamu kenapa melamun?”
Kau terkekeh. “Apa aku terlihat seperti orang
yang melamun?” Pertanyaan klise. Tak perlu kujawab. “Aku nggak ngelamun, cuma lagi diam aja,” Jawaban
yang klise pula.
Sesaat kemudian, laki-laki itu melintas di
hadapan kita. Laki-laki yang menyilaukan di matamu. Laki-laki yang mencuri
hatimu sampai sekarang. Laki-laki yang selalu muncul di setiap tulisanmu.
Laki-laki yang selalu muncul di setiap mimpimu. Aku terkesiap, lalu menatapmu
yang mulai terdiam lagi.
Aku mulai disadarkan. Mungkin selama ini
diammu bukanlah emasmu. Kau diam bukan karena kau tak ingin, atau bingung
hendak bicara apa. Kau diam karena kau sudah terlalu lama kosong. Hidupmu yang
begitu monoton setiap harinya, menuntunmu dalam sebuah masa dimana kau bingung
dan mulai bosan dengan rutinitasmu. Salah satu yang terenggut adalah kemampuanmu
untuk bicara. Ini karena tak ada yang mengingatkanmu, bahwa masih banyak yang
menginginkanmu.
“Apa kau merindukannya?” Aku bertanya
tiba-tiba. Kau terlihat kaget, lalu mendengus pelan. Tatapan matamu meredup.
Sungguh aku rindu dimana kedua mata itu begitu bersinar saat bercerita di depan
kelas.
Kau menatap laki-laki itu, membuatku ikut
menatapnya. Rambutnya baru saja dipangkas. Membuatnya terlihat aneh, tapi terlihat
segar di sisi yang lain. Laki-laki yang semakin tampan tiap tahunnya, begitu
ucapmu. Saat itu aku mendengus, lalu mulai berkomentar dalam hati. Heh..
Laki-laki yang menghancurkan hatimu tiap saat juga, kan? Laki-laki sama yang
tak pernah peduli padamu, kan?
Ini bukan opera sabun. Kau tak perlu
merelakan dirimu untuk menjadi orang yang mundur dalam sebuah cinta segitiga.
Kau tak perlu menjadi orang yang cintanya bertepuk sebelah tangan
terus-terusan. Itu menyedihkan. Begitu komentarku saat kau mulai menangis
karena tak bisa menahan luapan perasaan yang begitu menyayat itu. Kau selalu
menjawab, “Ini karena aku menyayanginya.”
Hidupmu sebenarnya tidak pantas menjadi
seperti opera sabun yang ceritanya terus melilit itu. Kau pantas bahagia. Tapi
kau adalah tipikal orang yang masih berpegang pada tradisi. Laki-laki yang
harus bergerak duluan. Yang tak pernah kau tahu adalah laki-laki tak tahu diri
itu tak pernah menyukaimu. Dia tak peka padamu. Dia hanya menganggapmu sebagai
perempuan terhormat yang tak perlu cinta, padahal nyatanya kau hanya perempuan
biasa.
Jika aku menjadi seorang laki-laki, tentu
dengan mudah aku akan jatuh cinta kepadamu. Kau baik, manis, cerdas. Tak ada
yang bisa menolak semua kelebihan itu. Tapi dibalik kelebihan pasti ada
kekurangan. Kekuranganmu adalah kau tak terlalu bisa mengirimkan sinyal kepada
laki-laki yang kau sukai.
“Aku.. nggak tahu. Bahkan melihat dia saja aku nggak berani,” Kau mengetuk-ngetuk tutup botol di tanganmu dengan jari
telunjuk. Sudah terlalu lama kau naik-turun dengan perasaanmu. Kadang kau
menyukainya dengan menggebu-gebu, kadang kau merasa bahwa kau sudah
menggantungkan harapanmu tentangnya.
“Kemarin aku bermimpi.. tentang dia lagi,”
Akhirnya kau berani membuka pembicaraan tanpa harus aku yang bertanya duluan.
Kau melirikku, sedangkan aku menatapmu. Sebuah perjanjian tanpa kata diantara
kita, bahwa cerita ini rahasia.
Mimpi tentang laki-laki itu sering menjadi
topik utama pembicaraan kita. Tentang dia yang menggandeng tanganmu dalam
mimpi, tentang dia yang mulai jatuh cinta padamu dalam mimpi. Entah sudah
berapa banyak mimpimu, aku tak ingat pasti. Tapi intinya, kau begitu
menyayanginya sampai kau membawanya ke dalam alam tidurmu.
“Aku bermimpi.. bahwa dia memelukku dari
belakang, lalu mengangkat tubuhku. Membuatku sedikit takut, namun senang,”
ceritamu tanpa perlu komando. Aku hanya mengangguk kecil.
“Lalu?”
“Aku seperti diantarkannya ke suatu tempat..
tapi aku tak tahu dimana,” Kalimatmu menggantung, lalu kau mendengus sambil
tersenyum. “Padahal aku tak pernah berpikir apapun tentangnya sebelum tidur,
tapi entah kenapa aku membawanya ke dalam tidur,”
“Mungkin pikiranmu tentangnya terbawa sampai
ke bawah alam sadarmu,” ucapku menenangkanmu.
Kau mengangkat alis, lalu tersenyum tanpa
bahagia. “Yah.. mungkin juga, ya,” Begitu jawabmu sesudahnya. Lalu, kau mulai
meneguk minuman dalam botolmu lagi.
Aku kembali menatapmu dengan penuh rasa iba.
Kau sahabat yang kusayangi. Sahabat yang menjadi tempat keluh kesah. Sahabat
yang memberiku cakrawala yang tak kutahu. Tapi kau harus berakhir menyedihkan
seperti ini. Berlarut dalam harapan yang terus menerus kau pendam.
Kau membawa laki-laki itu ke dalam mimpimu,
walau kau yakin laki-laki itu tak membawamu ke dalam mimpinya. Kau tersenyum
saat laki-laki itu tersenyum, walau kau yakin laki-laki itu tak akan tersenyum
jika kau tersenyum. Kau menyayangi laki-laki itu, walau kau tahu dia tidak
menyayangimu.
Cinta bertepuk sebelah tangan adalah
permainanmu, begitu ucapmu.
Aku menatap langit-langit kelas, lalu mulai
memaknai semua ini dengan kalimatku sendiri. Sebenarnya, cinta yang seperti ini
adalah cinta yang tulus. Tak pernah mengharap dibalas. Cinta menyakitkan yang
mungkin hanya bisa ditangani oleh orang sepertimu.
Aku menepuk pundakmu, membuat kedua mata itu
menatapku kembali. “Aku ada disini, sahabatku,” Itu ucapku padamu,
mengungkapkan semuanya. Kau hanya mengangguk.
“Ya.. Aku tahu.”
Tak ada lagi yang bisa kulakukan padamu untuk
menghilangkan perasaanmu, atau setidaknya mengurangi sedikit penderitaanmu.
Tapi aku ada disini. Untuk mendengar ceritamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar