Antonio menekan bel
rumah yang terlihat seperti istana itu. Sesaat kemudian, seorang maid berseragam hitam-putih datang, lalu
membukakan pagar. Dengan wajah yang ditekuk, Antonio masuk. Suasana hatinya
cukup buruk karena nona Versailles itu. Awas saja kalau dia sampai macam-macam.
Maid berseragam
itu mengantarkan Antonio ke depan sebuah kamar yang terletak di lantai dua. Dia
membukakan pintu kamar. Dari dalam kamar, terlihat seorang gadis yang setengah
tertidur di atas kasur berselimut putih.
“Maaf. Bisakah kau
atau rekanmu menemaniku untuk masuk ke kamar? Aku tidak ingin sendirian di
sini.” kata Antonio sesaat sebelum maid itu
berlalu. Maid itu hanya mengangguk
singkat, lalu mengekori Antonio masuk ke dalam kamar Corinne.
Ketika masuk ke
kamar, bau parfum begitu menyeruak. Harum. Tapi terlampau harum. Bahkan harum
itu sampai menyesakkan paru-paru Antonio. Diperparah lagi dengan jendela yang
tidak terbuka.
“Bisakah kau bukakan
jendelanya? Terlalu sesak disini.” Katanya sambil berbisik pada maid itu. Maid itu menggeleng. Antonio mengangkat alisnya.
“Maaf Tuan, saya
tidak bisa. Nona Corinne tidak pernah mau membuka jendelanya. Kami yang membuka
jendelanya bisa-bisa dimarahi olehnya.” Jelas maid separuh baya itu. Antonio melipat tangannya, lalu mengamati
Corinne yang masih tidur. Dasar gadis
aneh, pikirnya.
Tapi Antonio sudah
terlalu sesak sekarang. Napasnya sudah tidak tahan lagi. Dia berjalan menuju
jendela itu, dan membukanya. Semilir angin senja menerpa kulitnya. Ini baru
segar.
“Siapa yang membuka
jendela? Tolong tutup jendelanya! Aku sudah bilang aku tak ingin ada yang
membuka jendela itu. Aku kedinginan..” terdengar protes dari seorang perempuan.
Pasti itu Corinne.
Antonio menoleh, lalu
cepat-cepat menutup jendela itu. Dia berjalan ke arah Corinne yang ternyata
sudah membuka matanya. Dia menatap sengit maid
paruh-baya yang mengantar Antonio.
“Pasti kau yang
membukanya, ya?!” Katanya setengah berteriak. Antonio menggelengkan kepala.
Sebegitu sibuk marah, sampai tidak memperhatikan ada tamu disini. Maid itu menggelengkan kepala dengan
wajah takut.
“Aku yang
membukanya.” Jelas Antonio. Tangannya ia letakkan di saku. Sungguh, penampilan
luar gadis ini sangat menipu.
“Ah, Antonio.” Gumam
gadis itu pelan. Wajahnya memerah. Pasti dia malu karena satu sifat buruknya
terlihat oleh Antonio. Maid paruh-baya
itu menghela napas lega.
Antonio mengambil
kursi, lalu duduk di sebelah kasur Corinne. Dia menyentuh lengan Corinne.
Sedikit panas. “Kau masih panas. Istirahatlah lagi.” Ucapnya singkat.
Sebenarnya dia ingin menasihati nona Versailles ini agar tidak bertindak
seenaknya, tapi Antonio masih punya hati. Menurut ilmu yang diajarkan, orang
sakit itu butuh support, bukannya
makian.
Antonio hendak berdiri
ketika tiba-tiba Corinne menarik tangannya. “Duduklah lagi. Ada yang ingin
kubicarakan denganmu.” Katanya. Wajahnya terlihat serius. Antonio hanya diam,
lalu menuruti perkataan gadis ini. Ada apa sebenarnya?
“Tolong buatkan
secangkir minuman untuknya.” Perintah Corinne pada maid paruh-baya itu. Maid itu
melirik Antonio sejenak, lalu mengangguk dan berlalu. Bagus. Sekarang tidak ada
lagi orang yang bisa ‘melindungi’ Antonio dari ocehan gadis ini.
“Antonio. Aku.. Sejak
pertama kita menghabiskan waktu, aku merasa nyaman denganmu. Aku.. Entahlah.
Ada banyak perasaan yang tidak bisa kujelaskan. Aku rasa aku mulai menyukaimu.”
Jelas Corinne sambil memegang kedua tangan Antonio. Kemana harga diri gadis
ini?
“Aku tahu kau pasti
mempertanyakan harga diriku. Tapi aku harus mengatakannya. Aku sudah tidak bisa
menahannya untuk diriku sendiri.” Cerita Corinne. Wajahnya makin merona merah.
Antonio hanya menatap gadis itu datar. Tidak. Tidak bisa.
“Jadi.. Bagaimana?”
Tanya Corinne. Mungkin gadis ini mengharapkan ungkapan perasaan yang sama dari
Antonio, tapi ada sesuatu yang menghalangi Antonio untuk membalas perasaan
gadis itu. Ingatannya mulai berpijak pada gadis lily. Gadis yang bahkan ia
sendiri tak tahu namanya.
“Maaf,” Kata Antonio
sambil melepaskan tangan Corinne. Dia merapatkan jas hitamnya, lalu berdiri.
“Jangan lupa obatmu. Lakukan seperti apa yang dokter sarankan. Dengan begitu
kau akan sembuh.” Lanjutnya. Dia pun berlalu.
Corinne menatap sosok
Antonio yang sudah mulai menjauh. Setelah itu, maid paruh-baya itu kembali datar. Dia terlihat kebingungan di
ambang pintu, lalu masuk dan bertanya, “Tuan sudah pulang, Nona? Cepat sekali.”
Celetuknya. Corinne hanya mengangguk lemah.
Bagi Corinne, Antonio
adalah cinta pertamanya. Tapi Antonio sadar betul bahwa Corinne bukanlah orang
yang tepat untuk mengisi sebuah ruangan bernama ‘cinta’ di hatinya. Saat tiba
di bawah, Antonio menatap jendela kamar Corinne yang tadi sudah ditutupnya.
Mungkin hatinya sama seperti jendela itu. Masih tertutup. Bahkan jika ada orang
yang memaksa untuk membukanya, dia pasti akan berteriak – sama seperti Corinne
– karena itu sama sekali bukan kehendaknya.
Harap demi harap
mulai muncul. Antonio tahu, dia harus mulai mencoba. Jika tidak, dia akan terus
memberikan sebuah harapan palsu pada Corinne. Dia harus memastikan perasaannya
pada gadis lily itu. Harus.
Mungkin, yang Antonio
butuhkan sekarang hanyalah lebih banyak waktu. Dan.. Keberanian.
***
Antonio mungkin sudah
gila karena masih terus diambang ketidakpastian yang bodoh seperti ini. Bagi
orang normal, pasti mereka sudah berpikir: untuk apa ragu-ragu? Toh,
jelas-jelas ada perempuan cantik seperti Corinne di depannya.
Antonio mungkin sudah
gila.
Tapi Antonio tak mau
berpikiran lebih jauh lagi tentang masalah tunggu-menunggu. Dia tak mau lagi
digerecoki perasaannya. Tak ada siapapun yang boleh mengungkit masalah itu
sekarang, karena intinya dia sedang sibuk.
Sibuk dalam arti
sebenarnya.
Berbagai macam desain
bangunan terhampar di depannya. Perusahaan keluarganya akan memulai sebuah
mega-proyek pembangunan sebuah mall. Desainnya tergantung oleh kontraktor –
dalam hal ini perusahaan tempat Antonio bekerja.
Desain apa yang harus
ia pilih? Futuristik? Atau modern? Atau semi-klasik?
Otaknya terus menerus
berpikir ketika tiba-tiba pintu ruangannya di ketuk.
“Maaf, bos. Kau
berkata akan memerlukan sebuah konsultan, bukan? Kami sudah menemukannya.” ucap
seorang pria berkulit gelap yang biasa ia panggil Blake.
Antonio hanya
mengangguk. Sesaat kemudian dia membelalakkan mata tidak percaya.
***
“Bagaimana kau bisa
ada disini? Kapan kau datang?” tanya Antonio pada perempuan bersilletto warna
hitam di depannya.
Mata hijau perempuan
itu mengedip. “Kenapa kau bertanya seperti itu pada kakakmu sendiri? Lagipula
aku disini, kan untuk membantumu.”
“Tapi, Claire. Kau
seharusnya mengatakan dulu padaku,” Antonio mendengus kesal. “Apalagi kau yang
akan menjadi konsultanku!” Dia memekik frustasi sejenak. Bukannya dia tidak
senang dengan kehadiran kakaknya, tapi kau tahu semua orang butuh tempat
privasi. Kantor, adalah tempat privasi bagi Antonio. Menjadi tempat pertama dia
bisa memekik frustasi, setelah rumahnya digerecoki oleh seorang perempuan
bernama Corinne. Dan, sekarang? Kakaknya yang dari Milan datang pula untuk
menggerecokinya.
“Kau kira aku juga
ingin berada disini? Lebih baik aku berada di mal, lalu menemukan beberapa coat yang bagus disana! Ibu yang
memintaku,” Claire memainkan rambutnya. “Kebetulan aku berada disini,
menghadiri sebuah undangan. Lagipula, kau kan jadi tidak perlu membayar seorang
konsultan!”
Antonio menghela
napas panjang. “Hei. Apakah bunga Carnation kuning di mantelmu itu adalah
sebuah aksen?” tanya Antonio basa-basi sambil menunjuk ke bagian kerah mantel.
Claire menoleh ke
arah yang ditunjuk Antonio. “Oh. Iya. Ini adalah aksen. Ini gaya Milan, kau
tahu!”
***
Mata Elle
berkedip-kedip. Oh, ternyata dia tertidur di tokonya lagi.
Matanya berputar,
lalu mengamati matahari yang baru saja menyembulkan kepalanya di ufuk timur.
Dia merasa deja vu.
Jantungnya tiba-tiba
berdetak sangat kencang. Detak. Dentum.
Dia seperti kenal
suasana ini. Dia yang terduduk di sini, lalu tertidur. Serta matahari dan
burung-burung kecil yang sedang berkicau.
Bayangan laki-laki
misterius itu kembali muncul. Sungguh aneh.
***
Antonio benar-benar
sangat gemas pada dirinya sendiri. Bayangan nona penjual bunga yang manis itu,
dan Corinne. Semuanya berputar begitu saja di kepalanya.
Sebenarnya, apa lebihnya
seseorang yang tidak mengucapkan kata lebih dari ‘Mau pesan apa, Tuan?’
dibanding orang yang sudah berkencan dengannya selama berkali-kali? Ini sungguh
aneh.
Bahkan Antonio baru
menyadari. Bertemu saja dia hanya satu kali. Mengamati saja yang berkali-kali.
Coba ia ingat.. berapa lama dia berbicara dengan gadis itu? 60 detik?
Ah, sungguh Antonio
frustasi sekarang.
Dia menatap foto
gadis itu, lalu mempunyai ide. Dia akan menulis surat lagi, lalu bertanya pada
gadis bunga ini. Sihir apa yang sudah ia lakukan?
Tapi, sebelum dia
sempat menulis, sesuatu keributan terjadi di rumahnya.
“Antonio!” pekik
seseorang dari bawah. Antonio mengenal suara itu. Kakaknya.
Dia segera berlari
lalu sesaat kemudian mendapati kakaknya sedang diringkus oleh polisi.
***
“Akhirnya pelakunya
tertangkap,” Charlotte bercerita kepada Elle yang sedang mengaduk teh. Elle
hanya mengangkat alis. Secepat itu? “Ternyata dia Claire. Mantan kekasih Gerald
yang melanjutkan karirnya di Milan sebagai seorang fashion designer.”
“Lalu?” pancing Elle.
Charlotte menyesap
tehnya, lalu mulai melanjutkan, “Dia kembali ke Amerika, bertanya kepada teman
satu apartemen Gerald, lalu mendapati bahwa Gerald sudah memiliki kekasih yang
baru,” Charlotte menelan ludah, “Aku. Gerald mengirimkan undangan pertunangan
kami ke rumahnya. Dan dia, sangat marah.”
“Jadi karena itu ada
bunga Carnation kuning di balkon.” ucap Elle pelan. Charlotte menatap Elle.
“Carnation kuning?”
“Itu berarti: kau
mengecewakanku, temanku.” jelas Elle. Charlotte hanya manggut-manggut.
“Apakah kau akan
menemaniku ke kantor polisi?” tanya Charlotte.
“Bukannya kau sudah
menemui perempuan itu?”
“Belum. Polisi hanya
menjelaskan motifnya lewat telepon tadi.”
Elle hanya mengangguk.
Sesuatu mengetuk hatinya tiba-tiba.
***
Mereka berdua tiba di
kantor polisi. Kantor polisi tak ubahnya sebuah gedung yang diselimuti aura
buruk. Elle bergidik ketika masuk ke dalamnya.
Seorang polisi
membimbing mereka ke sebuah ruangan. Katanya, ada seorang keluarga tersangka
yang ingin meminta kejelasan.
Charlotte membuka
pintu hitam yang cukup besar itu, dan sesaat kemudian Elle terkesiap. Laki-laki
misterius itu ada di sana, duduk sambil menyilangkan kedua tangannya. Laki-laki
itu juga tampak terkejut.
Charlotte menepuk
pundak Elle. “Ayo.”
Laki-laki itu
berdiri, lalu menjabat tangan mereka berdua. “Saya Antonio. Adik dari orang
yang sedang kalian berusaha masukkan ke dalam penjara,” ucapnya sakartis. “Sebenarnya
ada apa, Nona?”
Charlotte
menggeleng-geleng pelan. “Duduklah dulu, Tuan.”
Sesaat kemudian,
dengan runtut Charlotte menjelaskan semuanya. Mulai dari acara pertunangannya
yang batal, vas yang jatuh, sampai kepala Gerald yang nyaris tak terselamatkan.
Antonio menatap
Charlotte dengan tatapan tidak percaya sejenak, lalu menundukkan kepalanya. “Saya..
saya mewakili keluarga mohon maaf. Ini sangat memalukan.” ucapnya. Charlotte
hanya tersenyum kecut.
Sesaat kemudian, mata
Antonio dan Elle bertemu.
***
“Maaf, Nona!” Elle
menoleh. Antonio berlari kecil ke arahnya.
“Ya?” tanya Elle
dengan nada yang aneh. Bahkan suaranya sendiri terasa aneh sekarang.
Antonio hanya
tersenyum, lalu mengulurkan tangan. “Kita belum berkenalan.” ucapnya.
“Saya Elle.” Elle
tersenyum tipis sejenak, lalu kembali menunggu laki-laki itu berbicara.
“Nona. Mungkin akan
terdengar aneh jika saya mengatakan sesuatu di.. sini,” ucap Antonio sambil
menatap tempat parkir. “Bisakah kita bertemu esok hari di tokomu? Saya ingin
mengatakan sesuatu. Sebentar saja.”
Elle menggigit bibir.
Lalu sesaat kemudian, ia mengangguk.
***
“Saya merasa aneh.
Pernahkah Nona mendapati diri sedang jatuh cinta pada seseorang yang bahkan
belum pernah Nona kenal lebih jauh sebelumnya?” Elle terdiam. Sesuatu kembali
membuat jantungnya berdegup kencang.
Dia memperhatikan
Antonio. Lalu tiba-tiba merasa deja vu lagi.
“Iya. Mungkin,” jawabnya. “Kenapa Anda tiba-tiba bertanya seperti itu?”
Antonio mengambil bunga
lili putih, lalu bertanya, “Bunga ini, berapa harganya?” tanya Antonio.
“Hanya 2 euro.”
“Kalau begitu aku
beli ini,” Sesaat kemudian dia menjulurkan uang, dan memberikan bunga itu pada
Elle. “Ini untukmu,”
Elle hanya terdiam,
lalu mendapati sekujur tubuhnya merasa sangat hangat.
“Kau bertanya padaku,
kenapa aku bertanya seperti itu?” Antonio terlihat seperti berbicara sendiri. “Percayakah
kau kalau aku sedang jatuh cinta padamu?” Antonio menatap mata Elle
lekat-lekat.
“Aku tahu. Aku bahkan
belum mengenalmu lebih dari 60 detik. Atau mungkin beberapa menit. Tapi aku
sendiri sadar ketika kau selalu mengganggu semua hal yang kulakukan. Kau selalu
muncul di pikiranku,” cerita Antonio. “Dan ketika aku bertemu denganmu kemarin,
aku tahu aku harus melakukan sesuatu.”
“Kau.. Kau pikir
hanya kau yang merasakan seperti itu?” tanya Elle. “Aku.. Aku bahkan merasa
sangat terganggu dengan semua perasaan deja
vu yang kurasakan. Aku seperti pernah mengenalmu, pernah melihatmu, dan
pernah bertemu denganmu. Ini aneh.”
Sesaat kemudian
mereka saling bertukar pandang, lalu tertawa. Akhirnya semua perasaan yang
selama ini mengganggu perlahan-lahan menghilang, seiring dengan terjawabnya
kata hati mereka.
Mungkin bukan tulip
merah yang dipilih oleh Antonio, tapi lili putih itu sudah cukup. Bukan cinta
yang menggebu, tapi cinta yang tulus. Seputih warna lili yang diberikannya.
“Jadi.. Kau.. ACW?”
tanya Elle. Antonio mengangguk mantap. Ternyata orang yang sama. Orang yang
sama yang peduli padanya dan menawarkan perlindungan.
***
Finally, my last
part! Setelah digerecokin
sama mbak Je, dan mbak Je. Akhirnya saya berniat lagi buat segera nyelesein
cerita ini. Kasian digantung.
Biar lebih dan agak mirip-mirip sama di buku-buku, saya mau terima
kasih ke keluarga saya, laptop, mbak Je dan mbak Je karena udah bikin saya
punya tanggung jawab untuk melunasi hutang saya tentang cerita bersarung (baca:
bersambung) ini.
Terima kasih juga buat lagunya Kim Sung Gyu – 60 Seconds. Akhirnya
saya bisa tahu ending nya mau dibikin
kayak gimana. Inspirasi kalimatnya. Makasih banget buat yang nyiptain, saya
jadi terbantu.
Terakhir, dan mungkin sedikit agak lebay mengingat ini bukan
proyek yang gede-gede banget. Buat para pembaca, atau pengunjung. Entah kamu
langsung menutup tabnya atau gimana, yang penting makasih aja, deh.
Oke. Jadi mega proyek ini selesai jugaa! *tepuk tangan*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar