Ketika senja menyapa, gadis itu mulai termangu dalam kesunyian yang teramat dalam. Penantiannya selama ini, masihkah berharga?
Toko
bunga Lé Seulé yang berada di tengah hiruk pikuk kota Paris, terlihat lengang,
walaupun tak sedikit juga pengunjung yang berada di dalamnya.
Primadona
toko ini adalah bunga tulip merah yang di datangkan khusus dari negeri asalnya,
Belanda. Sesuai dengan citra yang melekat pada kota Paris - kota romantis -
banyak sekali orang yang membeli sebuket bunga tulip ini, untuk pasangannya.
Untuk kejutan di Eiffel Tower, atau untuk lamaran.
Bagi
Elle, makna bunga tulip merah sesungguhnya adalah kasih yang sempurna. Kasih
yang tulus, mencintai kekurangan dan kelebihan setiap orang.
Tapi
dalam prakteknya, tidak seperti itu.
Seluruh
penjuru dunia tahu, bahwa ada saja sejenis manusia yang serakah, termasuk dalam
urusan cinta. Dan mereka dengan embel-embel biasanya memberikan sebuket bunga
tulip merah untuk pasangannya. Bagi Elle, ini tidak benar sama sekali.
Pandangan
Elle sampai pada depan tokonya. Dari etalase yang sedang diurusnya saat ini,
terlihat dengan jelas Eiffel Tower yang sangat indah. Selama ini, dia selalu
mengagumi keindahan Eiffel Tower. Tapi - percaya atau tidak - dia tidak pernah
pergi ke sana. Pikiran bodoh selalu mengganggunya. Dia selalu berpikir, bahwa
menara Eiffel akan lebih menyenangkan bila di datangi bersama pasangan.
Mungkin harus
menunggu bertahun-tahun lagi untuk momen seperti itu.
Klining..
Klining..
Bel
kecil yang berada di dekat pintu tokonya berbunyi. Seorang pelanggan masuk ke
dalam toko bunga mungil itu. Dia adalah seorang laki-laki yang terlihat
familiar dimata Elle, tapi dia tidak tahu dimana dan kapan persisnya dia pernah
melihat laki-laki itu.
“*Bonjour, maître. Anda ingin bunga yang
bagaimana?” Tanya Elle dengan sapaan khasnya. Bibir mungilnya menyunggingkan
senyum termanis. Customer service memang
seperti ini seharusnya, kan?
Laki-laki tegap itu
terlihat canggung sejenak, sebelum akhirnya menghampiri Elle yang berada di
belakang etalase.
“Saya ingin bunga
yang terindah disini.” Katanya dengan raut wajah yang sedikit bingung.
Elle memperhatikan
laki-laki ini sejenak. Laki-laki ini tampan. Kedua alisnya tebal dan berwarna
hitam. Matanya yang tajam berwarna coklat gelap. Kelihatannya dia berbeda
seperti laki-laki Prancis lainnya yang biasa pergi ke toko bunga, lalu dengan
mudahnya menyatakan cinta pada seorang perempuan.
Elle berdeham
sejenak. “Uhm. Kalau begitu, saya akan merekomendasikan bunga tulip, bagaimana?”
Tanyanya.
Wajah laki-laki itu
sedikit tegang ketika mendengar rekomendasi Elle. “**Aucun. Jangan tulip. Jangan. Yang lain saja, nona.” Katanya dengan
sedikit kaku.
Laki-laki itu
berjalan memutari toko bunga milik Elle. Jemarinya sesekali menyentuh beberapa
kelopak bunga. Langkah laki-laki itu terhenti pada sekuntum bunga lily berwarna jingga.
“Nona, saya akan
membeli yang ini.” Kata laki-laki itu pada Elle.
Elle tertegun. Selama
ini, bunga lily berwarna jingga
jarang sekali dibeli. Hal ini sangat wajar karena menurut beberapa orang, bunga
itu bermakna kebencian, kesombongan, dan penghinaan. Mengertikah laki-laki ini
tentang arti bunga itu?
“Baik, tuan.” Kata
Elle masih dengan keheranannya.
***
Elle mengunci pintu
tokonya beberapa jam setelah laki-laki lily
jingga itu pergi. Ini hari yang melelahkan. Dan suasananya masih sama. Satu
laki-laki, atau satu perempuan, membeli berkuntum-kuntum bunga dengan wajah tak
bersalah.
Perempuan itu
menghela napas kecil, lalu melihat ke langit. Sebentar lagi, musim semi akan
berlalu, digantikan dengan musim panas. Lalu, dia harus membanting tulang saat
musim gugur dan dingin, karena sedikit sekali – bahkan nyaris tidak ada – bunga
yang bisa didapatkan saat kedua musim itu.
Andai saja ada
seseorang yang bisa membantunya dan menjadi tumpuannya..
Elle menggelengkan
kepalanya. Tidak, dia tidak boleh berpikir terlalu jauh. Itu hanya akan membuka
lagi kenyataan bahwa dia benar-benar sendirian sekarang. Ibu dan ayah Elle
meninggal dunia dalam kecelakaan kereta bawah tanah dua tahun lalu. Elle yang
saat itu berada di rumah neneknya, masih selamat. Namun, tak lama setelah itu,
neneknya dipanggil karena serangan jantung. Elle yang saat itu masih berumur
tujuh belas tahun sangat terpukul.
Untungnya, neneknya
mewariskan sesuatu yang tak dapat dpikirkan oleh orang lain. Ilmu tentang
bunga.
Sudah menjadi rahasia
umum kalau nenek Elle adalah seorang yang sangat mencintai bunga. Di pekarangan
rumah mereka, tertanam berbagai macam bunga dengan berbagai macam makna. Semua,
beliau sayangi layaknya anak sendiri. Sebagai cucu satu-satunya, Elle sangat
beruntung bisa mendapatkan ilmu dari neneknya itu.
Elle menatap langit
jingga yang berada di atasnya. Semuanya akan lebih baik nanti. Pasti.
***
Antonio menatap
makanan di depannya dengan wajah datar. Dia memotong steak daging tenderloinnya tanpa tenaga, seakan tak berniat
sedikitpun untuk melukai daging yang aromanya menggoda itu. Ini restoran mahal,
seharusnya ia bisa menikmati makanannya. Suasana disini juga tenang, dan
mendukung. Tapi, teman makan memang selalu menjadi faktor pendukung.
Di depannya, ada
seorang gadis berwajah bak boneka Barbie yang sedang memakan saladnya dengan
anggun. Dia Corinne, seorang gadis yang cerdas dan cantik. Banyak laki-laki
yang menyukainya, tapi hanya Antonio yang begitu bodoh. Sampai saat ini, dia
juga tak mengerti, kenapa dia tak bisa mengagumi Corinne layaknya laki-laki
lain. Entahlah.
Tadi pagi, dia
diseret oleh ibunya untuk membelikan sesuatu untuk Corinne. Dengan gusar, dia
membawa Ferrarinya ke sebuah toko bunga yang terkenal di tengah kota Paris.
Petugas disana menawarkannya tulip, tapi ia tak mau. Dia ingin yang lain.
Dan pilihannya, jatuh
pada lily jingga.
(continued)
Ket: *Bonjour, maître : Selamat pagi, tuan.
**Aucun : tidak
(continued)
Ket: *Bonjour, maître : Selamat pagi, tuan.
**Aucun : tidak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar