Oleh: Nancy Oktavelia
(Cerpen
ini udah pernah aku kumpulin buat mading sekolah yang masih belum dipasang.
Untuk menghormatinya, mari kita beri hormat. *bungkuk 90 derajat*)
Suara sirine membelah malam
yang terasa begitu mengancam itu. Keringat dingin mengucur diseluruh tubuhku
sementara jantungku terasa ingin keluar dari rongganya. Tapi logikaku tetap
mengendalikanku. Aku tahu aku masih harus pergi dari tempat ini, secepatnya.
Aku harus mengayuh sepeda ini ke tempat dimana aku bisa aman dan jauh dari
semua kebisingan ini.
Wii..
Woo..
Sirine yang mengganggu itu masih saja berbunyi.
Paru-paruku yang malang mengembang dan mengempis dengan cepat, menarik dan
membuang gas dari tubuhku. Ya, aku harus mencari tempat untuk beristirahat. Aku
menoleh ke belakang, mobil-mobil polisi yang mengejarku tidak terlihat,
walaupun suara sirinenya membelah malam. Aku membawa sepedaku ke sebuah gang
kecil dan gelap.
Dan disinilah aku. Terduduk dengan wajah penuh keringat,
dan napas terengah-engah. Semua organ tubuhku memberontak hari ini. Jantung
yang terus memompa darah dengan tak teratur, paru-paruku yang memelas meminta
oksigen lebih banyak, kaki dan tanganku yang ngilu, juga tenggorokan yang mulai
kering. Kalau bukan karena obat itu, aku tidak akan seperti ini. Dipergok dalam
posisi, dan keadaan yang salah. Mereka seharusnya tidak mengejar aku seperti
ini. Aku adalah korban.
Satu organ tubuhku yang dari tadi mengatur logikaku,
sekarang membawaku masuk ke dalam emosi pada waktu itu. Dia memutar memoriku
layaknya sebuah tape recorder.
***
Aku ingat betul saat ibu
mengajarkanku untuk melafalkan kata. Banyak hal yang beliau ajarkan, namun dua
yang betul-betul melekat diingatanku. ‘sakit’ dan ‘sedih’. Aku yang masih kecil
begitu seringnya mengucapkan hal itu di depan ibu, tanpa mengerti arti
kata-kata itu sebenarnya. Tentu saja ibu tidak terlihat gembira, ketika aku
mengucapkan kedua kata tersebut. Harusnya aku mengucapkan ‘ibu’ dan ‘ayah’ atau
setidaknya ‘makan’ dan ‘minum’. Tapi entah kenapa dari sekian banyak kata yang
ibu ajarkan, hanya dua kata itu yang aku ingat, sampai sekarang.
Aku juga ingat bagaimana kerasnya ibu dan ayah mendidikku
sejak saat itu. Mereka memang membanting tulang untuk mencari penghasilan, tapi
ibu dan ayah sepakat untuk bergantian menjagaku. Aku sempat merasa seperti anak
aneh yang harus diawasi setiap saat.
Aku masuk dalam pergaulan yang salah dalam masa sekolah
menengah pertamaku. Aku yang masih lugu dan suka tantangan, ditantang oleh
teman-teman sebayaku untuk membelikan barang-barang yang tak seharusnya
anak-anak seumur kami beli. Mereka menyuruhku untuk membelikan mereka hal-hal
kecil, seperti rokok sampai hal-hal yang keterlaluan, seperti minuman keras dan
narkoba. Mereka menyuruhku untuk mencoba barang-barang itu, tapi aku tidak mau.
Entah kenapa, mencoba barang-barang seperti itu tidak pernah menarik
perhatianku. Walaupun tak bisa kupungkiri aku sangat suka hal-hal baru. Aku
bahkan hampir tertangkap oleh polisi saat memuaskan andrenalinku itu.
Semakin dewasa, aku semakin mengerti, mana hal yang
benar, dan mana yang salah. Harus aku akui aku berdosa saat itu karena telah
membelikan barang terlarang pada teman-temanku. Ini visiku kedepan: aku takkan
pernah melakukan hal seperti itu.
Aku bekerja di sebuah perusahaan koran. Rasanya senang
sekali bisa bertemu dengan orang-orang yang memiliki rasa ingin tahu yang besar
dan berpengetahuan luas. Mereka semua sangat ramah dan kritis. Aku sangat
nyaman berada bersama mereka, apalagi dengan seniorku disana, Alika.
Alika sebenarnya lebih muda daripada diriku, tapi dia
bekerja setahun lebih dulu daripadaku. Dia adalah tipe perempuan yang tangguh
dan berpegang erat pada idealismenya. Aku masih ingat ketika kutanya, apa yang
membuat dia berani menjadi seorang jurnalis. Dia berkata dia punya misi dan
tujuan yang baik. Dia percaya semuanya akan menjadi baik juga. Seperti
simbiosis mutualisme antara kupu-kupu dan bunga, sesederhana itu.
“Jadi, kak Dika. Apa yang membuatmu tertarik untuk
menjadi seorang jurnalis?” Tanyanya ketika jam makan siang hari itu.
Aku terkekeh sejenak sambil meletakkan kamera DSLRku di
atas meja kantin. Aku menarik kursi, lalu duduk di atasnya.
“Alasan pertama, rasa ingin tahu, andrenalin. Alasan yang
kedua, aku merasa ini adalah bidang yang menarik. Seperti sebuah kanvas yang
awalnya putih bersih, aku ingin melukisnya dengan warna yang indah..” Kataku
sambil melakukan gestur melukis. Alika memperhatikanku sambil meminum es
tehnya.
Aku terdiam sejenak sambil menatap kosong pelayan yang
sedang melayani tamu tak jauh dari kami. “Alasan ketiga, aku ingin menyalurkan
rasa ingin tahuku ini, ke tempat yang tepat..” Kataku dengan nada menggantung.
“Oh, ya? Kenapa?” Tanya Alika. Insting jurnalisnya mulai
tergugah, kelihatannya.
“Kenapa? Yah, aku punya pengalaman yang buruk..” Aku
menceritakan masa-masa kelam di masa sekolah menengah. Aku pikir Alika akan
mempunyai respon yang buruk tentang ini, tapi dia hanya diam dan memperhatikan
sampai ceritaku selesai.
“Jadi, Kak Dika dulu pernah membelikan miras dan narkoba
ke teman-teman Kakak?” Kata Alika. Aku tersenyum suram. Dia berdeham sejenak.
“Kalau menurutku, Kakak enggak sepenuhnya salah. Menurutku, semua itu
tergantung orangnya. Kalau misalnya orang itu punya moral yang tinggi, dia
enggak akan terjerumus memakai hal-hal seperti itu. Kakak beruntung masih bisa
mengendalikan diri saat itu. Tapi ingat, kalau Kakak menghadapi sesuatu seperti
itu, jangan takut selama Kakak merasa tidak bersalah.” Katanya.
Dia memperhatikanku yang terlihat tak bersemangat. “Tapi,
ayolah Kak. Itu kan hanya masa lalu. Yang aku lihat sekarang adalah Kak Dika
yang hebat dan keren.” Katanya sambil menjulurkan lidah. “Ayo, Kakak pesan
saja. Hari ini aku yang traktir..” Lanjutnya.
Aku menyeringai kegirangan saat itu juga.
***
Sepulang kerja hari itu, aku
menyetir mobilku ke sebuah kafe. Itu kafe yang terkenal karena masakan steak nya yang selalu memuaskan. Aku
berpikir akan makan disana, lalu membelikan dua porsi untuk orang tuaku di
rumah. Saat aku sudah mengucapkan pesananku pada sang pelayan, mataku terpaku
pada sosok yang baru saja masuk. Seorang laki-laki. Postur tubuhnya sangat
berbeda, tapi aku masih mengenal kedua mata dingin nan tajam itu. Keenan, teman
sekolah menengahku.
Ada keinginan untuk menyapanya, tapi aku takut. Aku takut
dia masih seperti dulu. Keenan yang suka mabuk, dan pecandu berat narkoba. Tapi, hei, Andrenalinku berkata. Sejak kapan kau jadi penakut seperti ini?
Bukankah sudah banyak orang seperti dia yang kau temui?
Mulutku membuka hendak menyapanya, tapi dia duluan yang
melihatku. Dia menyeringai sesaat, menampakkan gigi yang mulai menguning karena
kafein.
“Hei, kawan lama!” Katanya.
***
Kami berbincang-bincang
selama hampir satu jam. Dia menceritakan banyak hal. Mulai dari jurusan apa
yang ia ambil saat kuliah, sampai berapa gadis yang dikencaninya. Sungguh,
walaupun ia kawan lamaku, tetap saja dia membosankan.
Dia mengecek jamnya. Wajahnya menyiratkan sesuatu yang
tak dapat kubaca.
“Baiklah, kawan. Aku pulang dulu. Sampai ketemu lagi.”
Katanya pamit. Aku mengangguk. “Senang sekali bisa bicara denganmu setelah
sekian lama.” Kataku.
Dia berjalan keluar. Saat aku sudah membayar dan hendak
pergi, aku dipanggil oleh seorang pelayan. “Maaf, mas. Apa ini milik Anda?”
Tanyanya sopan sambil menyodorkan sebungkus obat. Aku mengerutkan kening.
Mungkinkah ini.. Ah, tidak. Pikirku.
Aku tidak boleh berpikiran negatif. Mungkin ini obat flu milik Keenan yang
tertinggal.
“Ah, ini milik teman saya. Terima kasih.” Kataku singkat
sambil memasukkan bungkusan kecil obat itu dalam saku jaket.
Tiba-tiba, semuanya terjadi begitu cepat. Seorang
laki-laki bertubuh gempal menarik tanganku ke belakang. Dia membawaku ke luar
dari restoran itu.
“A.. Apa maksudnya ini? Siapa kamu?” Tanyaku panik.
Jantungku seperti menabuh genderang. Dia berdetak sangat cepat.
“Jangan mengelak. Kau tertangkap karena telah menerima
narkoba dari orang itu!” Kata orang itu dengan nada keras.
“Dari mana kau tahu kalau ini narkoba?! Mungkin saja, kan
ini hanya obat flu?! Tunjukkan padaku kalau ini memang narkoba!” Kataku mengelak.
Orang itu hanya diam. Sudah bukan rahasia lagi kalau dia
adalah polisi yang sedang menyamar. Kami para jurnalis mendengar berita-berita
yang tersebar tentang polisi dengan sangat baik.
Lidahku mulai kelu. Bagaimana kalau ini memang
benar-benar narkoba? Apa aku harus berurusan lagi dengan obat keji ini? Otakku
terus membisikkan jawaban-jawaban panjang. Tanpa dikomando, sikuku yang bebas
menyikut perut polisi itu. Terang saja aku langsung berlari sekencang mungkin.
“Hei, mau kemana kau?!” Teriak polisi itu sambil berusaha
mengejarku. Sekilas kulihat dia sedang berkata sesuatu pada alat komunikasinya.
Aku berlari ke tempat parkir, berharap bisa membawa
mobilku. Tapi mereka lebih cepat. Dua mobil polisi nan garang sudah ada disana.
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri dengan frustasi, lalu ‘meminjam’ tanpa ijin
sepeda yang sedang terparkir. Ini transportasi terbaik yang bisa aku dapatkan
saat itu.
***
Paru-paruku mulai normal,
sementara mataku mulai terbiasa dengan cahaya gelap yang dari tadi menyelimuti
gang ini. Otakku mulai mendapatkan satu hal penting: aku tak bersalah, kenapa
aku harus lari? Jawabannya adalah, aku takut. Ya, aku kembali takut menjadi
seperti dulu, nyaris tertangkap tangan membelikan narkoba untuk temanku.
“...Tapi ingat,
kalau Kakak menghadapi sesuatu seperti itu, jangan takut selama Kakak merasa
tidak bersalah.” Kata Alika saat itu membuatku terenyuh. Iya, dia benar.
“Diam di tempat dan angkat tanganmu!” Seru seseorang
dengan keras. Aku menoleh begitu cepat sampai leherku terasa begitu sakit.
Polisi. Mereka mengacungkan pistolnya di hadapanku. Aku sudah tahu, cepat atau
lambat mereka akan menemukanku. Aku bergeming. Aku tahu kata-kata itu
seharusnya untuk para penjahat, dan itu bukan aku.
“Hei? Kau punya telinga tidak? Cepat angkat tanganmu!”
Hardik seorang polisi lainnya. Dia terlihat geram. Tangannya memegang pistol
dengan mantap.
“Aku tidak bersalah..” Kataku jelas dan mantap.
“Apa kau bilang?! Kau sudah tertangkap tangan, jadi
mengaku saja!” Kata polisi yang geram tadi.
“Aku tidak bersalah..” Kataku.
Dor.
Entah siapa yang menarik pelatuk pistol itu yang
pasti dia tepat sasaran. Selongsong peluru dingin menembus bagian dadaku.
“Sakit..” Ucapku tertahan. Aku seperti aku yang masih
kecil. Mengucapkan sebuah frasa secara acak. Tapi sungguh aku beku.
Gelap. Inilah kawanku sekarang. Kebekuan dan kedinginan
juga menjadi saudara setiaku. Tapi, setidaknya hal yang kukatakan benar adanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar