(Author's Note: Hei.. Akhirnya setelah writer's block - tepatnya kemalasan author - akhirnya aku berhasil melahirkan part selanjutnya. Ya, buat yang nunggu, makasih udah menanti selama ini. :') Itu berkesan banget buat aku. Penantian kalian itu bikin aku makin semangat nulis. Silahkan ditunggu part selanjutnya!)
Corinne menguap
lebar. Bola matanya langsung menuju pada jendela kamarnya. Jendela yang
tertutup gorden berwarna putih itu tertembus oleh semburat cahaya berwarna
jingga. Corinne mencoba duduk di kasurnya dan mencoba untuk membuka gorden
tersebut. Tapi ternyata badannya tidak bisa diajak bekerja sama. Kepalanya
begitu sakit, dia merasa begitu lemah.
Corinne akhirnya
menyerah pada kelemahan tubuhnya. Dia kembali menarik selimut, dan mulai
berpikir panjang. Apa yang membuatnya menjadi letih seperti ini? Seingat
Corinne, tadi pagi dia sehat-sehat saja.
Corinne menelan
ludah. Tenggorokannya kering sekali. Sial. Kenapa dia harus sakit disaat semua
orang di rumah pergi. Ibu dan ayahnya pergi
ke acara reuni sekolahnya. Corinne bingung.
Ketika Corinne
melihat bunga lily jingga di sampingnya, dia mendapat akal.
***
“Halo?” Sapa Antonio
pada orang di seberang teleponnya dengan malas. Tangannya sibuk menyapu
beberapa kertas di atas meja, berusaha mencari dokumen mana yang terlewat
penting untuk saat ini.
“Hai, Antonio.” Kata
seseorang di seberang sana dengan nada lesu. Antonio mengerutkan sebelah alis.
Tumben sekali Corinne seperti itu. Biasanya saja jika dia menelepon Antonio,
dia akan mengajaknya pergi atau sekadar bercerita tentang teman-temannya yang
kelewat ceriwis tentang mereka berdua.
“Ada apa denganmu?”
Tanya Antonio dengan perasaan biasa saja.
“Aku.. Aku sakit.
Sialnya, di rumah tidak ada siapa-siapa.” Kata Corinne dengan nada yang sedikit
lebih riang. Antonio mendengus pelan. Mungkin bagi Corinne, pertanyaan tadi
seperti menggambarkan Antonio yang panik dan khawatir padanya. Tapi, lihat
realitanya. Antonio toh hanya menimpali dengan berdeham.
“Lalu?” Tanya Antonio
sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ayolah, cepat nona Versailles. Dia
masih punya banyak kerjaan disini. Memang Corinne mau tanggung jawab apa jika
pekerjaannya terlantar dan akhirnya perusahaan keluarganya hancur? Walaupun
Corinne adalah anak keluarga terpandang, Antonio yakin dia tidak akan
se-bertanggung jawab itu.
Terdengar helaan
napas panjang. “Antonioo.. Bisakah kau datang kesini? Kau datang kesini saja
aku sudah merasa lebih baik. Kau tentu tidak mau aku terus-terusan sakit
seperti ini, kan?” Tanya Corinne dengan manja.
Antonio memutar bola
matanya dengan kesal. Gadis ini. Bisakah dia tidak mengganggu Antonio dengan
permintaan-permintaan anehnya, sekali saja? Ditambah lagi, dengan nada sok-sok
manja seperti itu. Urgh. Demi apapun, jika Corinne tidak kenal baik dengan
keluarganya, Antonio bisa saja pura-pura tidak mengenalnya dan mencampakkannya
begitu saja.
“Ya, ya. Aku akan
datang nanti. Sudah dulu, ya aku sibuk.” Kata Antonio singkat. Menyerah dalam
permainan nona Versailles ini, walaupun sirine di kepalanya sudah berdengung
tanda berbahaya.
“Benarkah? Terima
kasih! Aku tunggu, ya!” Kata Corinne. Dari nada bicaranya saja dia seperti
mengundang temannya untuk ke pesta, gembira sekali.
Setelah telepon
diputus, dalam hati Antonio merasa bersalah. Dia merasa seperti pemberi angin
segar yang sifatnya seperti fatamorgana kepada Corinne. Antonio sadar, kalau
cepat atau lambat, dia harus memberitahukan pada Corinne bahwa dia tidak bisa
meneruskan semua drama ini. Cepat atau lambat.
***
“Gerald.. Gerald!
Bagaimana ini? Kenapa kalian hanya melihat saja? Seseorang tolong panggilkan ambulance!” Pekik Charlotte sambil
meletakkan kepala Gerald yang bersimbah dengan darah di pangkuannya.
Sementara Elle panik
setengah mati. Suara dentuman keras itu ternyata berasal dari Gerald. Bukan.
Tepatnya, sebuah vas porselen – entah disengaja atau tidak – mengenai kepala
Gerald. Vas itu bukan vas yang terbilang kecil, namun bukan vas yang terlalu
besar pula. Tapi siapa pelakunya?
Elle terus berlari.
Tujuannya saat ini hanya satu: menemukan orang tua Gerald. Tanpa Charlotte beri
mandat pun, Elle tahu apa yang harus ia lakukan.
Itu dia. Terlihat
sepasang suami-istri yang sudah berumur sedang bercakap-cakap. Wajah mereka
terlihat santai. Masing-masing dari mereka memiliki mata yang mirip.
“Nyonya, Tuan. Anda
harus ikut denganku. Ayo.” Kata Elle sambil menggandeng tangan keduanya.
Sepasang suami istri itu terlihat bingung.
“Tapi, ada apa, Nak?”
Tanya sang istri. Elle hanya menggeleng. Air matanya sudah hampir menyeruak.
Dia terlalu panik jika menyangkut dengan urusan hidup-mati seseorang.
“Aku tidak bisa
menjelaskannya, Nyonya. Anda harus melihatnya sendiri. Aku.. Aku mohon.” Kata
Elle memohon. Keduanya mengangguk lemah, lalu mengekor di belakang Elle.
Ketika akan melewati
bagian depan ballroom, terlihat
kerumunan orang. Di depan, terparkir mobil berwarna putih. Rupanya seseorang
sudah memanggil ambulance. Elle dan
kedua orang tua Gerald menyela kerumunan tersebut, lalu melihat beberapa
petugas yang dengan cepat menandu Gerald yang terkapar lemas. Sayup-sayup Elle
mendengar suara tarikan napas tegang dan isak tangis yang tertahan di
sampingnya.
Charlotte yang
melihat Elle dan orang tua Gerald segera berlari kecil. Gaunnya terlihat robek
di beberapa bagian, lalu berlumur darah. Matanya terlihat sembab dan merah,
tapi dia tidak menangis.
“Ibu, Ayah. Kurasa
kalian harus cepat. Ambulance nya
akan berangkat sebentar lagi.” Kata Charlotte dengan nada setengah menahan
tangis. Kedua orang tua itu kembali mengangguk pasrah. Sejenak, Elle menangkap
tanda tanya di mata kedua orang tua Gerald.
“Aku akan menyusul.
Aku akan membereskan yang ada disini. Kasihan para tamunya, kan? Mereka perlu
kepastian dari si pemilik acara. Aku akan secepatnya kesana.” Jelas Charlotte.
“Tapi kau bisa
menyuruh seseorang untuk mengurus mereka, Nak.” Ucap ayah Gerald. Suaranya yang
dalam sepertinya sudah berhasil diwariskan pada Gerald.
Charlotte hanya
menggeleng. “Tidak. Cepatlah pergi.” Katanya singkat.
Tepat sesudah ambulance itu berlalu, Charlotte
tiba-tiba memegang tangan Elle. Air matanya mulai tumpah. Dia mulai menangis.
Yang bisa Elle
lakukan hanya diam, lalu mengelus pundak Charlotte, memberikan sedikit kekuatan
pada sahabat baiknya itu.
***
Elle terdiam di
balkon yang ada di lantai dua ballroom bernuansa
kolosal itu. Ballroom sangat sepi,
dan Charlotte sudah pergi ke rumah sakit. Logikanya masih terusik dengan rasa
penasaran. Benarkah ini hanya kecelakaan? Rasanya aneh.
Mata Elle memutari
sekeliling balkon, lalu beralih ke bawah, tempat dimana vas itu mengenai kepala
Gerald. Jika itu kecelakaan, kenapa harus Gerald? Lagipula, penyangga balkon
itu cukup tinggi. Tidak mungkin pengelola meletakkan vas bunga – apalagi vas
bunga porselen – di sana. Risiko jatuhnya terlalu besar.
Elle memang bukan
detektif, tapi nalurinya berkata ini aneh. Terlampau aneh.
Matanya kembali
menangkap suatu benda yang tidak disadari Charlotte atau keluarga Gerald.
Setangkai bunga carnation kuning.
Elle mengerutkan
kening. Lalu membekap mulutnya sendiri sejenak. Ya, ada seseorang yang telah
Gerald kecewakan lewat pertunangannya dengan Charlotte. Karena carnation kuning
berarti: kamu mengecewakanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar